Kontroversi Permendikbud PPKS: Didukung Menag, Ditolak Muhammadiyah

Laporan: Samsudin
Selasa, 09 November 2021 | 10:22 WIB
Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim bertemu Menag Yaqut Cholil, di kantor Kemenag/Net
Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim bertemu Menag Yaqut Cholil, di kantor Kemenag/Net

SinPo.id - Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) No 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi dianggap kontroversial.

Aturan itu mendapat penolakan dari organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam, lingkungan kampus hingga anggota parlemen. Beleid itu disebut bernuansa liberal dan melegalkan perzinaan karena memuat diksi persetujuan (sexual consent) antara pelaku dan korban saat menjelaskan definisi kekerasan seksual. 

Salah satu yang melayangkan protes keras itu yakni Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Melalui Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah pun meminta agar peraturan menteri tersebut segera direvisi dan dicabut.

Salah satu alasan permintaan agar peraturan tersebut dicabut ialah karena dinilai melegalisasi perbuatan asusila dan seks bebas

Pertama, Permendikbud Nomor 30  tidak memenuhi asas keterbukaan dalam proses pembentukannya, karena pihak-pihak yang terkait dengan materi Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021 tidak dilibatkan secara luas, utuh, dan minimnya informasi dalam setiap tahapan pembentukan.

“Hal ini bertentangan dengan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menegaskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan (termasuk peraturan menteri) harus dilakukan berdasarkan asas keterbukaan,” demikian sikap Muhammadiyah dalam keterangan tertulis yang dikeluarkan pada Senin (8/11), yang ditandatangani oleh Ketua Majelis Diktilitbang Lincollin Arsyad dan Sekretaris Muhammad Sayuti.

Kedua, Permendikud No.30 tidak tertib materi muatan. Disebutkan, terdapat dua kesalahan materi muatan yang mencerminkan adanya pengaturan yang melampaui kewenangan.

Hal itu di antaranya, pertama, Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021 mengatur materi muatan yang seharusnya diatur dalam level undang-undang, seperti mengatur norma pelanggaran seksual yang diikuti dengan ragam sanksi yang tidak proporsional.

Kedua, Permendikbud No 30 mengatur norma yang bersifat terlalu rigid dan mengurangi otonomi kelembagaan perguruan tinggi (Vide Pasal 62 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi) melalui pembentukan "Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual" (Vide Pasal 23 Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021).

Meski dinilai kontroversial bagi sebagian besar pihak, nyatanya Permendikbudristek itu didukung Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Ia mengatakan, aturan ini dinilai menjadi bentuk dari pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus. 

"Kami mendukung kebijakan yang telah dikeluarkan Mas Menteri. Karenanya, kami segera mengeluarkan Surat Edaran (SE) untuk mendukung pemberlakuan Permendikbud tersebut di PTKN (Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri)," ungkap Menag saat bertemu Mendikbud Ristek Nadiem Makarim di Kantor Kemenag, Jakarta seperti dilansir dari laman Kemenag.go.id.

Untuk mewujudkan dukungan tersebut, Kemenag  mengeluarkan Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemenag tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN). 

Menag sepakat dengan Mendikbud Ristek yang menyatakan bahwa kekerasan seksual menjadi salah satu penghalang tercapainya tujuan pendidikan nasional.

"Kita tidak boleh menutup mata, bahwa kekerasan seksual banyak terjadi di lingkungan pendidikan. Dan kita tidak ingin ini berlangsung terus menerus," kata Menag.sinpo

Komentar: