Menakar Calon Ketua Umum PBNU: Kiai Said Atau Gus Yahya?

Laporan: Farez
Rabu, 22 Desember 2021 | 10:12 WIB
Calon Ketum PBNU, Gus Yahya vs Kiai Said Aqil/SinPo
Calon Ketum PBNU, Gus Yahya vs Kiai Said Aqil/SinPo

SinPo.id - Ormas Nahdlatul Ulama (NU) menyelenggarakan Muktamar ke-34 di Lampung pada Rabu-Kamis (22-23/12). Pada Muktamar ke-34 ini akan merumuskan sejumlah persoalan keummatan, kebangsaan dan pemilihan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Calon Ketua Umum PBNU sendiri mungerucut pada dua nama menjelang Muktamar ke-34 NU. Keduanya yakni, Ketum PBNU petahana KH Said Aqil Siraj dan Katib Aam PBNU Yahya Cholil Staquf.

Lantas siapa yang berpotensi menang dan menjadi orang nomor satu di organisasi Islam terbesar di Indonesia itu?

Direktur Eksekutif IndoStrategic Ahmad Khoirul Umam menilai, setidaknya ada beberapa faktor yang berpotensi mempengaruhi arah keputusan pemilik hak suara di Muktamar kali ini. Pertama, level independensi dan netralitras PWNU, PCNU dan juga PCI-NU dalam menentukan pilihan di pemungutan suara nanti.

"Kedua, efektivitas kekuatan masing-masing loyalis dalam mendukung calon masing-masing," kata Khoirul Umam dalam keterangannya di Jakarta pada Rabu (22/12).

Ketiga, pengaruh kekuatan sel-sel ekonomi-politik dari internal Nahdliyin yang tersebar di berbagai lini, baik di level state actor maupun non-state actor. Kemudian yang keempat, potensi adanya intervensi kekuatan ekonomi-politik dari pihak eksternal Nahdliyin, yang mencoba mencari untung dari agenda dukung-mendukung calon Ketum PBNU. 

"Hipotesisnya, jika faktor pertama dan kedua kuat, sedangkan faktor ketiga dan keempat lemah, maka hasil Muktamar NU ke-34 kali ini akan menghasilkan produk keputusan dan kepemimpinan yang lebih genuine dan sesuai aspirasi jamaah Nahdliyyin di nusantara," tuturnya.

Namun sebaliknya, menurut Dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina ini, jika faktor pertama dan kedua lemah, sedangkan faktor ketiga dan keempat tinggi, maka hasil Muktamar NU akan lebih ditentukan oleh kekuatan ekonomi-politik yang mencoba mencari untung dan membangun pengaruh jelang Pemilu 2024.

Kiai Said

Khoirul menilai, Kiai Said paling berpeluang memenangkan kontestasi ini. Hal itu lantaran Kiai Said telah memimpin NU selama 10 tahun, dan telah membangun akar yang cukup kuat di tingkat wilayah (PWNU), cabang (PCNU) dan juga cabang istimewa (PCI-NU).

"Kiai Said juga merupakan figur yang tegas dan clear dalam menyikapi tren fundamentalisme Islam di Indonesia," ujarnya.

Kiai Said, kata Khoirul, juga dianggap tokoh sentral yang berhasil mengawinkan pasangan Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Wapres Maruf Amin sebagai representasi bersatunya kelompok nasionalis dan Islam moderat di PIlpres 2019 lalu.

Artinya, Kiai Said memiliki hubungan erat dengan Istana Presiden dan Ketum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri sebagai pemilik saham utama pemerintahan saat ini.

Namun begitu, Khoirul menilai Muktamar NU lebih ditentukan sikap para pemilik suara yang cukup sensitif pada narasi-narasi kontroversial. Saat ini, kata dia, Kiai Said berpotensi dihantam oleh sejumlah narasi kontroversial.

"(Misalnya) pentingnya regenerasi, kuatnya nuansa politisasi PBNU hingga tudingan sebagian pihak pada elemen lini tengah tim Kiai Said yang beberapa waktu lalu dianggap berani memalsukan tanda tangan Rois Aam," ungkapnya. 

Oleh karena itu, Khoirul berpendapat, untuk menang, tim Kiai Said harus mampu menetralisir narasi-narasi sensitif itu, yang belakangan terasa cukup efektif mempengaruhi sikap keorganisasian sejumlah pimpinan PWNU dan PCNU di sejumlah wilayah.

Gus Yahya

Kendati Khoirul menilai Kiai Said paling berpeluang menjadi Ketum PBNU, namun dirinya menyebut Yahya Cholil Staquf atau yang karib disapa Gus Yahya memiliki peluang yang sama.

Gus Yahya, saat ini dianggap menjadi penantang terberat bagi petahana. Secara perlahan, menurut Khoirul, pria kelahiran Rembang, Jawa Tengah itu, berhasil mengonsolidasikan dukungan, dengan berselancar di atas narasi-narasi sensitif yang harus diklarifikasi Kiai Said.

"Meskipun tidak mudah dibuktikan, namun keberadaan Menteri Agama Gus Yaqut yang notabene adik kandung Kiai Yahya, berpotensi memberikan keleluasaan untuk membangun komunikasi dengan PWNU dan PCNU di daerah yang notabene juga berkhidmat di Kementerian Agama," katanya.

Selain itu, masih kata Khoirul, secara politik Gus Yahya dianggap sebagai tokoh baru yang berpotensi mengubah pola relasi antara NU dengan sejumlah stakeholders di Tanah Air. Mulai dengan partai-partai politik tertentu hingga ormas-ormas lain yang selama ini cukup sering bersitegang dengan NU.

"Karena itu secara politik, Kiai Yahya tidak memiliki resistensi besar dari kekuatan-kekuatan politik internal maupun eksternal NU," ucapnya.

Terlebih lagi, lanjutnya, jika Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar bisa membuat kesepakatan agar kemenangan Gus Yahya tidak dijadikan sebagai ajang konsolidasi kekuatan untuk men-challenge kepemimpinan Cak Imin yang telah bertahan selama lebih dari 20 tahun di PKB.

Terlepas dari itu, menurut Khoirul, narasi sensitif yang bisa digarap untuk melemahkan dukungan Gus Yahya salah satunya terletak pada isu “pro-Israel” yang seringkali dikaitkan dengan kehadirannya di sebuah even forum internasional di Tel Aviv beberapa tahun lalu.

Wacana untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel juga sempat disuarakan oleh Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Hanya saja, rencana itu ditentang oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, termasuk penolakan dari kelompok NU.

"Jika Kiai Yahya mampu mentralisir dan menjelaskan alasan kehadirannya di forum internasional tersebut dengan baik pada PWNU, PCNU, dan PCI-NU, maka besar kemungkinan ia mampu mengonsolidasikan kekuatannya untuk memenangkan kontestasi di Muktamar ke-34 ini," demikian Khoirul.sinpo

Komentar: