MK Tolak Gugatan Presidential Threshold, Blok Politik Pelajar: Anwar Usman Silahkan Kembali Belajar Demokrasi!

Oleh: Delpedro Marhaen, Aktivis Blok Politik Pelajar
Selasa, 12 Juli 2022 | 23:47 WIB
Delpedro Marhaen, Aktivis Blok Politik Pelajar. Foto: istimewa
Delpedro Marhaen, Aktivis Blok Politik Pelajar. Foto: istimewa

SinPo.id - Amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan gugatan Presidential Threshold dengan dalih “...penguatan sistem pemerintahan Presidensial berdasarkan UUD 1945 sehingga dapat mewujudkan pemerintahan yang efektif…” memperlihatkan isi pikiran Ketua Hakim MK Anwar Usman yang hendak menipu publik. Putusan tersebut jauh panggang dari api dengan realita politik di Indonesia saat ini.

Seperti yang kita ketahui, pada realitanya tidak ada hubungan antara efektivitas dengan ambang batas. Berkaca dari pemilu 2019 ambang batas tidak menciptakan politik yang efektif, bahkan partai pengusung Presiden dan Wakil Presiden yang kalah pun pada akhirnya merapat kepada pemenang. Hal itu menghasilkan sistem politik yang tidak sehat karena menghilangkan dinamika dalam memutuskan kebijakan. Akhirnya kebijakan yang dihasilkan hanya memuluskan akal bulus pemangku kepentingan.

Dalam pandangan MK, syarat ambang batas pencalonan diperlukan untuk menguatkan hubungan Presiden dan Wakil Presiden dengan DPR sehingga akan mendorong efektivitas proses-proses politik di DPR menjadi menjadi lebih sederhana dan efisien dalam kerangka checks and balances secara proporsional. Padahal, realitas politik hari ini menunjukkan rusaknya relasi antara eksekutif dan legislatif; lembaga kepresidenan dan parlemen lebih sering bersekongkol (ketimbang bertarung) dalam merilis aturan perundangan yang buruk dan meledek nalar publik.

Pilihan kalimat ‘efektif’ dan ‘efisien’ dalam sistem presidensial dalam kacamata MK, lebih lekat dengan warna pemerintahan otoritarian; dimana parlemen hanya berfungsi sebagai pemberi stempel bagi manuver presiden ketimbang melakukan pengawasan dan koreksi terhadap kekuasaan.

Toh, gugatan demi gugatan pada ambang batas pencalonan presiden tidak lepas dari kejenuhan publik akan proses konsolidasi parpol yang begitu menjemukan. Tidak heran calon – calon pilihan parpol ya hanya itu – itu saja. Meski kita punya hak pilih, tapi parpol yang menentukan siapa yang kita bisa pilih; menandakan sirkulasi kandidat memang dipegang oleh elite – elite politik yang menguasai ‘sistem presidensial yang efisien’ itu pak Anwar.

Padahal demokrasi itu bising sebenarnya pak Anwar, karena legitimasi presiden itu berbasis juga pada suara rakyat yang menginginkan pemimpin kompeten untuk menjaga harga – harga barang pokok dan memberikan jaminan rasa aman bagi publik. Jika memang tak mampu, ya seharusnya presiden mundur atau dipaksa mundur; bukan malah dilindungi partai politik dengan alasan dan tetek bengek lainnya.

Kedepan bukan tidak mungkin segala persoalan akan diputuskan berdasar prinsip efektivitas dan efisiensi sistem politik ala Mahkamah. Barangkali demi efisiensi dan efektivitas, pemilihan umum 2024 juga bisa ditunda sementara mengingat biayanya yang begitu besar dan polarisasi yang ditimbulkan olehnya? Demi efisiensi dan efektivitas ‘sistem presidensial’ kita juga toh, pak hakim?

 sinpo

Komentar: