Soroti Kebijakan Cukai Sri Mulyani, Komunitas Kretek Menilai Kontraproduktif dari Tujuan Pemerintah

Laporan: Sinpo
Senin, 01 Agustus 2022 | 22:46 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

SinPo.id - Setiap akhir tahun, pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, akan mengeluarkan kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yaitu menaikkan tarif cukai rokok. Kenaikan cukai dan simplifikasi tarif yang diterapkan pemerintah kerap kali dibarengi dengan maraknya rokok ilegal.

Dalam upaya menekan prevalensi perokok, menteri Sri Mulyani menyatakan bahwa kenaikan cukai didasarkan pada aspek kesehatan, yakni prevalensi merokok terutama pada anak-anak. Mempertimbang pula tenaga buruh yang bekerja langsung di industri rokok dan petani tembakau. Serta dari sisi penerimaan negara dan faktor rokok ilegal.

Kendati demikian, Komunitas Kretek melalui juru bicaranya Jibal Windiaz, mengkritisi argumentasi pemerintah terkait cukai rokok. “Pemerintah ini mengada-ada saja kerjanya, angka perokok anak sudah turun berdasar data Susenas. Dari 9,1% di tahun 2018, terus menurun hingga tinggal 3,69% di tahun 2021,” tutur Jibal.

Melalui cukai sebagai instrumen pengendalian konsumsi, pemerintah terus menjalankan targetnya dengan berupaya melakukan revisi aturan PP 109/2012. Regulasi tersebut dinilai masih banyak celah dan belum memenuhi target.

Terdapat 5 poin revisi 109/2012. Terdiri dari penambahan luas penampang gambar peringatan kesehatan pada bungkus rokok menjadi 90%, pelarangan iklan rokok di media sosial, pelarangan penjualan rokok secara batangan, penguatan pengawasan penjualan rokok, dan pengaturan penjualan rokok elektrik.

Terkait upaya revisi PP 109, Komunitas Kretek menilai kebijakan cukai yang dijalankan pemerintah tidak ampuh pada tujuannya, kemudian malah mengarah ke revisi. “Menkeu Sri Mulyani ini terlampau mengikuti alur pengendalian yang ditekankan kepada negara peserta FCTC. Dampaknya ke kedaulatan ekonomi kita.” Ujar Jibal Windiaz

Dampak dari kenaikan cukai rokok ini telah mengakibatkan banyaknya pabrikan kecil bertumbangan tidak kuat menanggung beban produksi. Kondisi ini memicu peningkatan rokok ilegal, pada tahun 2021 tercatat meningkat 26,30 %, potensi pendapatan negara yang hilang mencapai Rp 53,18 triliun.

“Ini jelas kontraproduktif, perokok banyak beralih ke yang ilegal. Lagipun angka perokok anak sudah turun, kok solusinya larangan jual rokok ketengan. Tidak bisa ketengan ya anak-anak kan tetap bisa patungan,” pungkas Jibal 
 

 sinpo

Komentar: