Ancaman Blokir Penyelenggara Sistem Elektronik

Laporan: Tim Redaksi
Sabtu, 06 Agustus 2022 | 07:39 WIB
Ilustrasi (Wawan Wiguna/SinPo.id)
Ilustrasi (Wawan Wiguna/SinPo.id)

 

Pemutusan akses terhadap sistem elektronik lain akan dilakukan secara gradual dan berkala

SinPo.id -  Terkejut dan was-was dirasakan Farida Indiastuti, saat mendapat kabar PayPal  masuk dalam daftar blokir Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kemenkominfo Sabtu 30 Juli 2022 pekan lalu. Kabar pemblokiran salah satu platform  tranfer uang secara digital itu ia dapatkan dari seorang kawan yang selama ini sama-sama bekerja di media asing.

“Setelah ku cek ternyata benar meski hanya sehari diblokir. Terkejut, karena selama ini pembayaran honor menggunakan aplikasi PayPal,” kata Farida, kepada SinPo.id, Jum’at, 5 Agustus 2022   

Farida merupakan jurnalis freelance di Jakarta untuk sejumah media asing berbasis di Kanada, Amerika dan Jerman. Kantor tempat ia berkontribusi berita itu menggunakan platform Paypal yang  selama ini efektif untuk transfer honor karya dia.

“Karena selama ini menggunakan bank rumit. Prosesnya bisa hingga lima hari,” kata Farida menambahkan.

Menurut Farida, pembayaran lewat bank perlu waktu berhari-hari. Bahkan banyak perusahaan di negara lain transfer uang lewat bank hingga lima hari. Kekhawatiran  yang ia rasakan wajar, meski pemblokiran PayPal telah dicabut sehari kemudian  dengan syarat agar manajemen platform tersebut segera memenuhi administrasi. 

“Jika nanti benar-benar diblokir merepotkan, ini menyangkut kepentingan orang banyak seperti kami yang selama ini bergantung untuk transfer hak pembayaran,” katanya.

Tercatat Kemenkominfo sempat memblokir delapan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat, terhitung sejak  Sabtu 30 Juli 2022 lalu. Meski pemblokiran dengan konpensasi batas waktu, namun publik terlanjur terancam dengan kebijakan sepihak itu.

"Kominfo telah mengirimkan surat kepada PSE yang mengoperasikan Sistem Elektronik (SE) Terpopuler pada tanggal 22 Juli 2022 dan memberitahukan kembali kewajiban PSE untuk segera melakukan pendaftaran SE yang dioperasikan dalam waktu 5 hari kerja terhitung sejak 25 Juli 2022," tulis pernyataan resmi Kemenkominfo, Sabtu 30 Juli 2022 lalu.

Selain PayPal, PSE yang sudah diblokir meliputi Yahoo search engine atau mesin carinya, Steam, Dota, Counter-Strike, Epic Games, Origin.com dan  Xandr.com.

Kemenkominfo menyatakan pendaftaran PSE Lingkup Privat itu telah diamanatkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019, tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik, serta Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat.

Dalam aturan itu mengatur perusahaan yang beroperasi secara digital, seperti memiliki situs maupun aplikasi, yang beroperasi di wilayah Indonesia. Kewajiban pendaftaran ini ditujukan, baik perusahaan asing maupun lokal. Jika tidak mendaftar, Kemenkominfo akan mengenakan sanksi pemutusan akses sementara kepada sepuluh PSE tersebut apabila tidak melakukan pendaftaran sampai dengan 29 Juli 2022 Pukul 23.59 WIB.

Lembaga itu menyebut pemblokiran dilakukan sesuai pengamatan Direktorat Pengendalian Aplikasi dan Informatika (Aptika), Direktorat Jenderal Aptika, Kementerian Kominfo terhadap 100 Sistem Elektronik dengan trafik tertinggi yang belum melakukan pendaftaran. Sedangkan pemutusan akses terhadap Sistem Elektronik lain akan dilakukan secara gradual dan berkala sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Protes Pemblokiran di Posko Bantuan Hukum

Pemblokiran itu menuai reaksi publik, setidaknya ada 182 gamers hingga akademisi mengadukan pemblokiran situs internet itu ke #SaveDigitalFreedom yang diinisiasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.

“Pos pengaduan diperuntukkan bagi masyarakat yang dirugikan akibat pemblokiran sewenang-wenang, maupun represi kebebasan di ranah digital akibat pemberlakuan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020,” kata pegiat hukum LBH Jakarta Teo Reffelsen.

Teo mendesak agar kemenkominfo mencabut keputusan pemblokiran terhadap 8 situs dan aplikasi untuk menghentikan dampak dan kerugian yang besar terhadap warga negara.

Menurut dia, para pengadu berasal dari berbagai latar belakang, yaitu pekerja kreatif seperti artis, musisi, desainer grafis, pembuat konten, dan lainnya hingga developer, gamer, pekerja lepas, dosen, jurnalis hingga badan usaha yang bergerak pada bisnis digital.

Ia menjelaskan, setidaknya empat permasalahan yang didapatkan dari pengaduan yang masuk. Di antaranya kerugian hilangnya akses terhadap layanan yang berhak didapatkan Pengadu pada situs-situs yang diblokir seperti Steam, Epic dan beberapa situs lainnya.

“Berbagai layanan tersebut didapatkan tidak dengan cuma-cuma melainkan dengan membayar sejumlah uang, yang bahkan dalam beberapa kasus hingga ratusan juta rupiah,” kata Teo menambahkan.

Kerugian lain berupa hilangnya penghasilan dari kegiatan usaha professional. Hal itu dibuktikan para pengadu yang mengaku sangat terganggu karena transaksi yang gagal dilakukan maupun pendapatan yang tertahan yang tidak bisa diakses akibat situs Paypal yang diblokir.

Tak hanya itu, hilangnya akses terhadap situs seperti Steam, Epic, dan lainnya juga menghilangkan penghasilan beberapa Pengadu yang menggunakan layanan tersebut untuk mendapatkan penghasilan.

"Kerugian yang dialami pengadu dapat mencapai ratusan juta rupiah," kata Teo menjelaskan

Pemblokiran juga menimbulkan hilangnya pekerjaan. Hal itu dirasakan para pekerja kreatif yang bergerak di sektor digital. Mereka usahanya secara jangka panjang sangat bergantung pada situs Paypal yang diblokir.

Rata-rata pengadu korban kebijakan kemenkominfo itu sudah kehilangan klien dan gagal melakukan kesepakatan kerja. Kebijakan Menkominfo mencabut sementara waktu blokir terhadap aplikasi Paypal tidak menjawab permasalahan Pengadu dalam jangka panjang tersebut.

“Pengadu yang mengalami doxing akibat menyampaikan protes dan penolakan terhadap pemblokiran dan pemberlakuan Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020," katanya.

Mengancam Kebebasan Pers

Kebijakan blokir kemenkominfo terhadap penyelenggara sistem elektronik juga menuai protes dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Organisasi profesi wartawan yang selama ini memperjuangkan kebebasan pers itu mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika membatalkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) nomot 5 tahun 2020 karena menjadi ancaman baru bagi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia.

AJI yang masuk Koalisi Advokasi Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 bersama puluhan organisasi masyarakat sipil dari sejumlah negara, mengirim surat terbuka agar Menteri Komunikasi dan Informatika Johny G.Plate mencabut aturan itu.

“Tapi ternyata Kominfo tidak mau mendengarkan aspirasi publik. Padahal Permenkominfo nomor 5 tahun 2020 akan berdampak luas pada publik, termasuk komunitas pers,” kata Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito.

Menurut Sasmito beleid tersebut tidak hanya persoalan administratif semata, melainkan sebagai upaya agar PSE tunduk pada ketentuan Permenkominfo nomor 5 tahun 2020.

“Penundukan ini artinya memberikan pintu bagi Kominfo dan institusi pemerintah lainnya untuk mengawasi dan menyensor,” kata Sasmito menjelaskan.

Ia menyebut setidaknya ada empat pasal krusial di dalam Permenkominfo nomor 5 tahun 2020 yang berisiko mengancam kebebasan pers secara langsung di Indonesia. Di antaranya Pasal 9 ayat (3) dan (4) yang memuat ketentuan PSE swasta tidak memuat informasi yang dilarang. Kriteria informasi dilarang tersebut meliputi yang melanggar undang-undang, meresahkan masyarakat, dan mengganggu ketertiban umum.

“Kriteria meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum tersebut cukup lentur atau karet karena membuka ruang perdebatan, terlebih lagi jika menyangkut konten yang mengkritik lembaga negara atau penegak hukum,” kata Sasmito menegaskan.

Ia menyebut dalam Permenkominfo tersebut tidak diatur klausul yang ketat mengenai standar, tidak melibatkan pihak independen yang berwenang untuk menilai konten, dan tidak memuat klausul soal mekanisme keberatan dari publik.

Sedangkan dampak lain bisa mengarah karya juralistik berupa berita dan konten yang mengungkap soal isu pelanggaran HAM seperti di Papua, serta kelompok LGBTQ atau liputan investigasi yang membongkar kejahatan, bisa dianggap meresahkan, mengganggu, atau dinilai hoaks oleh pihak-pihak tertentu, bahkan oleh pemerintah dan lembaga penegak hukum.

“Pengaturan yang karet atau lentur dalam Permenkominfo nomor 5 tahun 2020 justru menjadi pintu masuk penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan,” katanya.

Selain itu, pasal 14 yang mengatur permohonan pemutusan akses atau blokir terhadap informasi yang meresahkan atau mengganggu ketertiban umum bisa dilakukan oleh masyarakat, kementerian atau lembaga, aparat penegak hukum dan lembaga peradilan.

Ketentuan ini berisiko membuka pintu bagi siapa saja, termasuk mereka yang memiliki agenda politik, dapat mengajukan blokir terhadap konten/berita yang sebenarnya memuat kepentingan publik, tapi dinilai sepihak meresahkan publik atau mengganggu ketertiban umum.

Pasal 21 dan Pasal 36 yang memuat ketentuan PSE wajib memberikan akses sistem elektronik dan data elektronik ke kementerian/lembaga untuk pengawasan dan ke APH untuk penegakan hukum. AJI menilai ketentuan ini berisiko menjadi pintu bagi pemerintah untuk mengawasi kerja media. Pemerintah dan aparat dengan mudah bisa mengakses data pribadi dan membuka ruang pelanggaran hak privasi, termasuk pada jurnalis-jurnalis yang menjadi target.

Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid juga turut angkat bicara terkait kebijakan pemblokiran PSE oleh Kemenkominfo. Dia mendorong Pemerintah menjalin komunikasi secara intensif dengan perusahaan-perusahaan yang belum melakukan pendaftaran PSE itu.

“Kepada Pemerintah saya minta untuk intensif menjalin komunikasi dengan perusahan-perusahaan yang belum mendaftar PSE. Cari solusi terbaik, persuasif dan jemput bola,” kata Meutya

Pernyataan Meutya itu disampaikan terkait banyak warga keberatan terhadap pemblokiran sejumlah PSE itu, khususnya dari kalangan pekerja kreatif maupun pekerja lepas pengguna Paypay sebagai sistem pembayaran hasil kerja mereka.

Meutya memahami adanya gejolak protes dari masyarakat mengingat aturan soal PSE ini masih baru dan butuh penyesuaian. “Tidak apa di awal demikian karena ini kita anggap satu aturan yang masih baru dan sosialisasi belum maksimal dilakukan,” kata Meutya menambahkan.

Ia mendorong Pemerintah berupaya lebih optimal mempersuasi perusahaaan-perusahaan PSE agar segera mendaftar. Dengan begitu, masyarakat Indonesia pun tidak terkena dampak penyesuaian aturan ini.

“Aturan soal PSE dibuat sebagai upaya perlindungan bagi pengguna internet di dalam negeri. Maka harus ada win win solution yang tidak merugikan masyarakat Indonesia, sekecil apapun itu,” katanya.sinpo

Komentar: