Perpres 112/2022 Diyakini Jadi Penanda Era Pembangkit Listrik Rendah Emisi

Laporan: Bayu Primanda
Sabtu, 24 September 2022 | 18:10 WIB
Salah satu pembangkit listrik energi terbarukan/DOK: Kementrian ESDM
Salah satu pembangkit listrik energi terbarukan/DOK: Kementrian ESDM

SinPo.id -  Penerbitan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik menandai dimulainya era pembangunan pembangkit listrik rendah emisi dan ramah lingkungan.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu, 24 September 2022 mengatakan keberadaan Perpres itu sekaligus menjadi awal pelarangan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru.

Namun seiring upaya tersebut, pembangkit listrik yang sudah tetap tidak akan terganggu.

"Dengan teknologi yang kita pahami saat ini, PLTU yang menggunakan batu bara merupakan pembangkit listrik yang menghasilkan emisi, maka kita stop untuk pembangunan pembangkit baru, namun perekonomian tidak boleh terganggu dengan upaya-upaya ini," ujar Dadan.

Menurut Dadan, pembangunan pembangkit saat ini dan masa mendatang akan mengarah ke green industry, secara ekonomi akan menjadi lebih baik atau dalam jangka mikronya tidak akan mengurangi apa yang diperlukan sekarang.

"Tidak perlu khawatir kita kekurangan listrik sesuai dengan kebutuhan sekarang," ungkap Dadan yang juga menjadi Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM.

Berdasarkan Perpres 112/2022 yang ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 13 September 2022 itu, pembangunan pembangkit listrik akan dilakukan secara selektif dan pembangunan pembangkit bersumber dari EBT ditargetkan berjalan beriringan.

Pengembangan PLTU baru dilarang kecuali untuk PLTU yang telah ditetapkan dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) sebelum berlakunya perpres atau bagi PLTU yang memenuhi persyaratan.

Pertama adalah terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk dalam Proyek Strategis Nasional yang memiliki kontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja dan/atau pertumbuhan ekonomi nasional.

Persyaratan kedua, berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca minimal 35 persen dalam jangka waktu 10 tahun sejak PLTU beroperasi dibandingkan dengan rata-rata emisi PLTU di Indonesia pada 2021 melalui pengembangan teknologi, carbon offset, dan/atau bauran energi terbarukan.

Ketiga, beroperasi paling lama sampai dengan 2050.

"Penghentian dan pembangunan PLTU secara selektif merupakan salah satu program untuk memenuhi komitmen penurunan gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen di 2030, atau bisa lebih tinggi dengan kerja sama pihak internasional, serta mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat," kata Dadan.

Terkait penentuan tarif, perpres menyebutkan berdasar pada nilai keekonomian. Prinsip yang berjalan sekarang, yaitu patokan BPP yang berlaku di wilayah tersebut.

Dadan mengungkapkan pemerintah berusaha mengombinasikan seluruh sumber EBT supaya bisa dimanfaatkan di Tanah air agar EBT menjadi sumber energi utama khususnya pembangkit listrik di dalam negeri.

Perpres 112/2022 tersebut disusun dengan pendekatan nilai keekonomian per jenis pembangkit. Penentuan tarifnya dilakukan dengan memperhatikan masukan dari para stakeholder (pemangku kepentingan).

"Penyusunan dan penyiapan perpres ini cukup lama, kurang lebih tiga tahun. Saya mengikuti terus pertemuan-pertemuan pada saat penyusunannya, memang dalam prosesnya ada beberapa pergeseran dari sisi keekonomian dari pembangkit tertentu, dan kita buka itu di dalam perpres ini, jadi nanti setiap tahun Menteri ESDM akan menetapkan kembali dari sisi harga," jelas Dadan.

Tujuan mekanisme ini adalah menjaga daya saing Indonesia. Pemerintah mendukung peningkatan pemanfaatan EBT, dukungannya dengan tingkat keekonomian yang wajar dan dibuat sistem staging.

Sistem staging adalah tarif yang berlaku akan berubah dalam beberapa tahapan. Pengusahaan pembangkit di 10 tahun pertama akan mendapatkan harga lebih tinggi dari harga rata-rata, setelah pengembalian investasi yang dipakai untuk membangun fasilitas/pembangkit terpenuhi atau dengan istilah balik modal yang umumnya dalam 10 tahun.

Tahap berikutnya, tarif tersebut turun karena sudah tidak ada keperluan untuk mengembalikan investasi, sehingga nantinya pemerintah akan mendapatkan harga lebih rendah, dengan tetap memberikan porsi yang wajar bagi pengembang pembangkit setelah di atas 10 tahun.

"Saya rasa tidak perlu khawatir mengenai tarif dan harga, karena proses penyusunan aturan ini disusun bersama dan sudah memperhatikan transparansi dan akuntabilitas. Prosesnya nanti melalui tender dan angka tarif yang ada dalam perpres ini adalah angka maksimum," sebut Dadan.sinpo

Komentar: