Ang Yan Goan: Tokoh Pers dan Nasionalis

Laporan: Khaerul Anam
Senin, 14 November 2022 | 09:07 WIB
Tokoh pers Ang Yan Goan/ Wikipedia
Tokoh pers Ang Yan Goan/ Wikipedia

SinPo.id - Peran serta aktif warga etnis Tionghoa dalam pembentukan kesadaran kebangsaan Indonesia tidak bisa dilepas dari hadirnya surat kabar mingguan Sin Po tahun 1910 yang kemudian menjadi surat kabar harian Sin Po tahun 1912.

Salah satu motor penggerak koran Sin Po pada waktu itu adalah Ang Jan Goan (Ang Yan Goan). Dalam sejarah pers di Indonesia, nama Yan Goan tidak bisa dihilangkan. Kendati ia hanya tinggal di Indonesia sampai tahun 1967. Hal itu mengingat Yan Goan turut membesarkan surat kabar Sin Po.

Ang Yan Goan adalah wartawan surat kabar Sin Po. Ia mengarahkan suratkabar yang terbit sejak 1910 itu sebagai pers yang pro-nasionalisme dan pro-rakyat Indonesia. Yan Goan merupakan wartawan, pendidik, aktivis kemanusiaan dan seorang nasionalis sejati.

Di masa kolonial ia bangga sebagai warga Tionghoa, sekaligus mendukung pergerakan nasionalisme Indonesia. Ia bahkan memilih menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) dan berperan mendekatkan Indonesia dan RRT (Tiongkok).

Biografi

Ang Yan Goan lahir pada 25 Mei 1894 di Bandung dari pasangan Ang Song Bie dan Tan Tjoei Nio. Ia merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Ayahnya seorang pedagang kelontong, namun kemudian bangkrut dan terbakar tokonya. Akibatnya Ang Song Bie tak sanggup membiayai sekolah anaknya.

Beruntung, prestasi belajar Yan Goan tergolong cemerlang. Pihak sekolah membuat kebijakan membebaskan biaya sekolahnya. Bahkan tahun 1909, ia dikirim ke sekolah Ji Nian di kota Nanjing. Yan Goan disuruh belajar di sana dan kelak pulang sebagai guru.

Namun  baru sekitar dua tahun belajar di sekolah Ji Nian, di Tiongkok terjadi revolusi Wuchang pada 10 Oktober 1911, yang menumbangkan Dinasti Manqing, dan berdirinya Republik Tiongkok. Akibatnya sekolah Ji Nian ditutup, dan Yan Goan kemudian pindah ke Sanghai, sebelum akhirnya pulang ke Indonesia pada 1912.

Sepulangnya ke Indonesia, Yan Goan kemudian menjadi guru Sekolah Tionghoa di THHK di Cimahi tahun 1912, Tasikmalaya tahun 1917 dan Bogor tahun 1920. Sejak mengajar di Bogor, Yan Goan mulai berkenalan dengan Tjoe Bouw San, pemilik Percetakan Sin Po dan Kwee Hing Tjiat, pemimpin redaksi pertama Sin Po edisi bahasa Tionghoa. Perkenalannya dengan Kwee Hing Tjiat, rupanya sangat berkesan bagi dirinya.

Kwee Hing Tjiat adalah orang yang menyadarkan Yan Goan bahwa membela Hindia Belanda adalah kewajiban warga Hindia Belanda. Prinsipnya, kesetaraan kewajiban harus setara dengan hak. Dengan kata lain, Kwee Hing Tjiat dan Sin Po, adalah orang dan surat kabar yang menyadarkan Yan Goan tentang nasionalisme sebagai orang Tionghoa.

Nasionalisme Ang Yan Goan dan Sin Po

Pada tahun 1922, Yan Goan diundang Tjoe Bou San ke Jakarta untuk menjadi wakil direktur Sin Po. Setiap minggunya ia bertugas menulis dua buah artikel untuk harian Sin Po dan dua artikel untuk mingguan Sin Po. Akhirnya pada Agustus 1922 ia diangkat menjadi komisaris.

Semenjak bekerja di Sin Po edisi Melayu, Yan Goan menyadari bahwa warga Tionghoa dan warga Indonesia sama-sama mengalami perlakuan tidak adil dan diskriminasi akibat penindasan kolonial Belanda. Dalam kapasitasnya sebagai anggota redaksi Sin Po edisi bahasa Melayu, ia sangat bersimpati terhadap penderitaan dan perjuangan rakyat Indonesia.

Pada waktu itu anggota redaksi Sin Po banyak menerima karangan tulisan dari para pemimpin nasional Indonesia yang mencerminkan ketidakpuasan mereka terhadap pemerintah Kolonial Belanda.

Untuk mengobarkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia, Sin Po kemudian sering menurunkan tulisan terjemahan tentang pergerakan kemerdakaan yang terjadi di belahan dunia lain seperti di India, Philipina, Maroko dan tempat-tempat lain. Akhirnya pembaca Sin Po yang warga Indonesia, akrab dengan nama-nama tokoh perjuangan dunia seperti Gandhi, Nehru dan Janna.

Pada masa Yan Goan, Sin Po berperan aktif mendukung aspirasi para pemimpin pergerakan Indonesia dengan menyebarluaskan istilah "Indonesia” untuk mengganti istilah “Hindia Belanda”, dan istilah “orang Indonesia” untuk mengganti “Inlander” yang dikonstruksi kolonial Belanda. Setelah Sumpah Pemuda dikumandangkan pada 1928, Sin Po juga mulai menyebut bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia.

Namun akibat koran Sin Po yang pro kemerdekaan Indonesia, Sin Po harus menanggung akibatnya. Pemerintah Hindia Belanda tak lagi memasang iklan di surat kabar Sin Po. Lima perusahaan Belanda terbesar yang selama ini memasang iklan di Sin Po, juga melakukan boikot. Akibatnya Sin Po menghadapi krisis ekonomi yang berakibat pada pengurangan gaji karyawannya.

Sebagai Aktivis Sosial

Ang Yan Goan tak hanya dikenal sebagai wartawan dan pendidik, tapi juga sekaligus aktivis sosial. Profesinya sebagai wartawan membuat Yan Goan leluasa mengutarakan ide-idenya untuk mendukung kegiatan-kegiatan sosial.

Salah satunya ketika harian Sin Po berperan sebagai "wadah" untuk mengkampanyekan perlunya pendirian Rumah Sakit (RS) untuk menolong orang-orang Tionghoa dan warga Indonesia miskin.

Yan Goan tercatat sebagai salah seorang anggtoa dewan komisaris pertama yang terlibat dalam pendirian RS Jang Seng Ie pada tahun 1924. RS Jang Seng Ie juga kemudian mendirikan Palang Merah Jang Seng Ie, yang semasa revolusi dipecaya Palang Merah Internasional untuk menyalurkan bantuan kepada rakyat Indonesia yang tengah berjuang melawan Belanda.

Pada masa Orde Baru, Rumah Sakit Jeng Seng Ie kemudian diubah menjadi Rumah Sakit Husada, yang masih eksis hingga saat ini.

Selain berjasa mengembangkan pendidikan, kesehatan dan pers bagi kalangan Tionghoa pada khususnya dan masyarakat lain pada umumnya. Yan Goan juga menjadi donator Universitas Baperki yang oleh Soekarno dinamakan Universitas Res Publica (URECA) yang kini menjadi Universitas Trisakti.

Ang Yang Goan yang sedari muda telah menghidupkan Palang Merah Yang Seng Ie pada masa tuanya aktif dalam mengupayakan perdamaian melalui lembaga persahabatan Indonesia-Tiongkok dan komite perdamaian dunia yang menggelar konferensi Internasional yang antara lain di Moskow dan Helsinki.

Akhir Perjuangan Yan Goan

Peristiwa G30 September 1965 menyebabkan Ang Yan Goan kehilangan semuanya. Pada akhir 1968, Yan Goan dan keluarganya memutuskan beremigrasi ke Kanada menyusul putranya. Ia meninggalkan situasi politik di tanah air yang dianggap mulai membatasinya.

Di negeri inilah Yan Goan sempat menuliskan Memoar yang hanya berdasarkan ingatannya. Ia meninggal tahun 1984 dalam usia 90 tahun di Settle, Amerika Serikat dan abu jenazahnya dibawa ke Peking, Tiongkok. Jejak perjuangan Ang Yan Goan pun seakan raib di masa Orde Baru.sinpo

Komentar: