Kaleidoskop 2022, Pemerintah Naikkan Cukai Tembakau Hingga 10 Persen

Laporan: Sinpo
Sabtu, 31 Desember 2022 | 10:54 WIB
Ilustrasi (SinPo.id/Wawan Wiguna)
Ilustrasi (SinPo.id/Wawan Wiguna)

SinPo.id -  Kebijakan Pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 10 persen pada tahun 2023 dan 2024 menuai resah. Meski Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kenaikan tarif CHT pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek pangan (SKP) akan berbeda.

“Rata-rata 10 persen, nanti akan ditunjukkan dengan SKM I dan II yang nanti rata-rata meningkat antara 11,5 hingga 11,75 (persen), SPM I dan SPM II naik di 12 hingga 11 persen, sedangkan SKP I, II, dan III naik 5 persen,” ujar Sri Mulyani, usai rapat dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, sekitar awal bulan November 2022 lalu.

Sri mengatakan, Presiden Jokowi meminta agar kenaikan tarif tidak hanya berlaku pada CHT, tetapi juga rokok elektrik dan produk hasil pengolahan hasil tembakau lainnya (HPTL). Untuk rokok elektrik, kenaikan tarif cukai akan terus berlangsung setiap tahun selama lima tahun ke depan.

“Hari ini juga diputuskan untuk meningkatkan cukai dari rokok elektronik yaitu rata-rata 15 persen untuk rokok elektrik dan 6 persen untuk HTPL. Ini berlaku, setiap tahun naik 15 persen, selama 5 tahun ke depan,” kata Sri Mulyani menjelaskan.

Ia menyebut pemerintah menyusun instrumen cukai dengan mempertimbangkan sejumlah aspek mulai dari tenaga kerja pertanian hingga industri rokok. Selain itu memperhatikan target penurunan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.

Pertimbangan lain, mengenai rokok yang berpengaruh pada konsumsi rumah tangga terbesar kedua setelah beras. Bahkan, konsumsi tersebut melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam.

“Yang kedua mengingat bahwa konsumsi rokok merupakan konsumsi kedua terbesar dari rumah tangga miskin yaitu mencapai 12,21 persen untuk masyarakat miskin perkotaan dan 11,63 persen untuk masyarakat pedesaan,” kata Sri Mulyani menjelaskan.

Kebijakan itu meresahkan sejumlah lembaga yang terkait langsung dengan produk tembakau. Di antaranya Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya, yang menyebut kenaikan cukai itu mengancam industri tutup hingga pemutusan hubungan kerja atau PHK Massal

“Kenaikan pajak cukai kalau terlalu tinggi itu, dampaknya akan luar biasa. Terutama terhadap keberlangsungan industrinya itu sendiri dan juga tenaga kerjanya,” kata ketua Gapero) Surabaya, Sulami Bahar.

Sulami mengatakan selama ini perusahaan berusaha semaksimal mungkin mengatur jam kerja karena produk menurun. “Tapi, kalau sudah tidak bisa ya ujung-ujungnya pasti ke rasionalisasi (PHK) mau tidak mau,” kata Sulami menambahkan.

Ia menyayangkan kebijakan pemerintah yang hendak menaikan tarif cukai rokok tersebut. Apa lagi saat ini masyarakat masih dalam kondisi sulit karena dampak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang menimbulkan perekonomian tidak menentu, dan daya beli masyarakat turun. Sulami juga khawatir kenaikan tarif cukai rokok ini akan menimbulkan maraknya peredaran rokok ilegal.

“Kalau harga rokok mahal, konsumen bisa mencari rokok yang lebih murah. Misalnya dari golongan satu, turun ke harga golongan dua, kalau tidak bisa turun lagi ke golongan tiga, kalau masih tidak bisa lagi, bisa beralih ke rokok ilegal,” kata Sulami menjelaskan.

 

Ia mengingatkan agar pemerintah melihat secara utuh dampak yang ditimbulkan sebelum memutuskan untuk menaikkan cukai rokok.

Resah kenaikan cukai tembakau yang berlaku tahun 2023-2024 juga dirasakan Lembaga Konsumen Rokok Indonesia  atau LKRI. Organisasi yang mewadahi para perokok itu mengaku menjadi pihak yang paling dibebani oleh kebijakan kenaikan cukai yang ditetapkan pemerintah.

“Kami sebagai konsumen menjadi pihak yang paling dibebankan dengan kenaikan tersebut,” ujar Sekjen Lembaga Konsumen Rokok Indonesia,Tony Priliono.

Menurut Tony, LKRI mewakili puluhan juta perokok di Indonesia selama ini punya kontribusi besar bagi penerimaan negara melalui pembayaran cukai. “Namun terus mengalami diskriminasi padahal rokok merupakan produk legal yang dilindungi Undang-Undang,” kata Tony menambahkan.

Tony menyebut kenaikan cukai secara otomatis membuat harga rokok kian mahal. Hal itu membuat perokok mencari alternatif rokok yang lebih murah, termasuk kemungkinan beralih ke rokok illegal. “Sehingga justru menimbulkan pemasukan negara semakin berkurang,” kata Tony menjelaskan.

Padahal, kata Tony, rokok legal produksi pabrik resmi dalam negeri menyerap 6 juta lapangan pekerja dari hulu ke hilir, selain itu mampu menyumbang pada penerimaan negara hingga Rp188 triliun pada tahun 2021.sinpo

Ilsutrasi
Komentar: