MPR Nilai Sistem Pemilu Terbuka Lebih Sesuai dengan Konstitusi

Laporan: Juven Martua Sitompul
Senin, 02 Januari 2023 | 16:07 WIB
Wakil Ketua MPR RI M Hidayat Nur Wahid/ Dok. PKS
Wakil Ketua MPR RI M Hidayat Nur Wahid/ Dok. PKS

SinPo.id - Wakil Ketua MPR RI M Hidayat Nur Wahid mengkritisi wacana dan pengusulan agar pemilu legislatif kembali diselenggarakan dengan sistem proporsional tertutup. Dia mengingatkan tidak ada pihak mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

HNW mengibaratkan sistem proporsional tertutup seperti 'memilih kucing dalam karung'. Sebab, rakyat tidak memilih langsung nama calon anggota legislatif yang dikenal atau dipercaya untuk mewakilinya di lembaga parlemen baik di tingkat nasional maupun daerah.

Tak hanya itu, dengan sistem pemilu tertutup ini, penentuan caleg yang terpilih untuk menjadi anggota legislatif diserahkan kepada partai politik (parpol). Padahal, parpol belum melakukan transparansi dan kaderisasi yang baik untuk hadirkan kader-kader berkualitas sebagai wakil rakyat sesuai harapan rakyat.

Dia berharap permohonan judicial review untuk kembali ke sistem pemilu proporsional tertutup ini tidak dikabulkan oleh MK. Karena tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat yang diatur oleh UUD 1945, juga agar MK konsisten dengan putusan yang sebelumnya dibuat oleh MK sendiri, yaitu mengubah dari sistem proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka.

"Apalagi sistem proporsional terbuka yang akan diberlakukan dalam pemilu sekarang dan yang sudah diberlakukan pada Pemilu 2009, 2014, dan 2019 sudah proporsional sesuai ketentuan konstitusi, yakni rakyat sesuai ketentuan UUD 1945 diberi hak bebas memilih nama-nama caleg untuk menjadi wakilnya di Parlemen, atau memilih (gambar) partai yang oleh konstitusi memang dinyatakan sebagai peserta pemilu,” ujar HNW, Senin, 2 Januari 2023.

HNW mengatakan pandangannya ini sejalan dengan putusan MK sebelumnya, yakni putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang diputus menjelang Pemilu 2009. "Putusan ini yang menjadi salah satu acuan bagi pembentuk UU, dalam hal ini DPR dan pemerintah, untuk menerapkan sistem pemilu terbuka pada pemilu-pemilu berikutnya,” imbuhnya.

HNW menilai meski amar putusan tersebut bukan secara spesifik berbicara mengenai sistem pemilu terbuka atau tertutup, tetapi dalam pertimbangannya MK secara tegas mengarahkan kepada sistem pemilu terbuka karena sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat.

"Pertimbang-pertimbangan itu merupakan ratio decidendi (pertimbangan yang mendasari amar putusan), yang sifatnya sama mengikatnya dengan amar putusan,” kata dia. 

Nur Wahid menyatakan MK menafsirkan Pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945 sebagai kedaulatan tertinggi di tangan rakyat. Sehingga, dalam berbagai kegiatan pemilu, rakyat langsung memilih siapa yang dipercayainya.

"Besarnya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon legislatif, sebaliknya rendahnya perolehan suara juga menunjukkan rendahnya legitimasi politik calon yang bersangkutan,” kata dia. 

Bahkan, kata dia, MK juga menafsirkan Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 yang mengamatkan agar penyelenggaraan pemilu lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya. Sehingga, rakyat diposisikan sebagai subjek utama dalam prinsip kedulatan rakyat bukan hanya ditempatkan sebagai objek oleh peserta Pemilu dalam mencapai kemenangan semata.

"Argumentasi ini sangat jelas dalam pertimbangan MK di putusan tersebut,” ucapnya.

Wakil Ketua Majlis Syura PKS ini menyatakan MK secara tegas menyebutkan mengenai keunggulan sistem proporsional terbuka. Dengan sistem proporsional terbuka, rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang mereka pilih untuk menjadi wakil mereka di Parlemen maka akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak.

“Putusan sebelumnya itu harusnya dipahami dan menjadi pegangan, karena sifat putusan MK adalah final dan mengikat, begitulah ketentuan Pasal 24C ayat 1 UUD 1945. Maka Saya berharap para pakar dan berbagai komponen masyarakat juga mengkritisi dan mengawasi perkara ini, bahkan bila perlu hadir di persidangan MK sebagai pihak terkait, agar MK tetap konsisten dengan putusannya, dan tidak dengan mudah mengubah keputusannya sendiri dan mundur ke belakang dengan memberlakukan kembali sistem tertutup," katanya.

"Karena sistem proporsional tertutup itu juga tidak sesuai dengan spirit reformasi, ketentuan konstitusi, dan akan merugikan kedaulatan rakyat, dan kualitas demokrasi,” sambungnya.

Meski demikian, perbaikan terhadap sistem pemilu terbuka seperti yang berlaku saat ini hendaknya juga tetap bisa dibahas dan didiskusikan. Hal ini merujuk kepada ketentuan konstitusi bahwa peserta pemilu adalah partai politik (Pasal 22E ayat 1 UUD 1945) tetapi pemilihan berdasarkan kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945).

"Jadi, demi keadilan, seharusnya dua ketentuan konstitusi ini bisa diakomodasi dan dikombinasikan. Karena memang bisa terjadi, di suatu dapil, ternyata rakyat sesuai kedaulatan yang dimiliki malah mayoritasnya memilih/mencoblos gambar parpol, bukan nama caleg, sehingga suara untuk parpol di dapil itu lebih banyak di atas suara untuk para calegnya," jelasnya.

"Maka bila ini terjadi, sewajarnya bila dipertimbangkan parpol yang di suatu dapil mendapat suara pilihan rakyat lebih banyak dari suara para caleg, agar parpol yang memperoleh suara terbanyak dari rakyat di dapil itu, diberikan kewenangan untuk menentukan caleg terpilih dari para caleg di dapil terkait," tutupnya.sinpo

Komentar: