FSGI: 86 Anak Korban Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada 2023

Laporan: Sinpo
Senin, 20 Februari 2023 | 04:12 WIB
Ilustrasi anak korban kekerasan seksual (SinPo.id/Pixabay
Ilustrasi anak korban kekerasan seksual (SinPo.id/Pixabay

SinPo.id -  Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat di awal tahun 2023 selama bulan Januari sampai 18  Februari ada 10 kasus kekerasan seksual terhadap anak di satuan pendidikan, baik di satuan pendidikan berasrama maupun yang tidak.  Sembilan (9) kasus tercatat sudah dilaporkan kepada pihak kepolisian dan semua dalam proses penanganan oleh kepolisian, sedangkan 1 kasus di Gunung Kidul diselesaikan dengan memindahkan kelas mengajar dan pengurangan jam mengajar oknum guru pelaku. 

“FSGI mengkritik hukuman semacam itu, karena tidak mempertimbangkan kondisi psikologis korban yang masih bersekolah disitu dan kemungkinan besar setiap hari  bertemu oknum guru pelaku di lingkungan sekolah itu. Sementara guru pelaku tetap berpotensi melakukan hal yang sama tapi pada anak yang lain. Keputusan hukuman semacam itu tidak akan menimbulkan efek jera pada pelaku dan tidak berpresfektif melindungi anak di lingkungan sekolah”, ujar Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar FSGI.

FSGI menemukan bahwa sebanyak 50% kasus kekerasan seksual terjadi dijenjang SD/MI, 10% di jenjang SMP, dan 40% di Pondok Pesantren. Dari 10 kasus tersebut, 60% satuan pendidikan tersebut di bawah kewenangan Kementerian Agama dan 40% dibawah kewenangan KemendikbudRistek.

”Pelaku kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan ada 10 orang, semuanya laki-laki. Adapun status pelaku, yaitu Pimpinan Ponpes dan Guru sebagai pelaku merupakan jumlah terbesar, yaitu masing-masing sebanyak 40%, Kepala Sekolah dan Penjaga sekolah masing-masing 10%.  Sedangkan korban total 86 anak, baik laki-laki maupun perempuan. Anak korban laki-laki sebanyak 37,20% dan korban anak perempuan mencapai 62,80%,” urai Retno.

“Kekerasan seksual terhadap anak yang berbasis daring pada tahun 2023 ada 1 kasus (10%) dan 90% kasus dilakukan secara luring oleh pelaku.  Kekerasan seksual berbasis daring terjadi diawal  tahun 2023 ini, menyasar pada  anak-anak usia SD dengan jumlah korbannya  36 anak, dan  22 anak dari 36 tersebut merupakan teman satu sekolah yang sama,  laki-laki maupun perempuan”, ungkap Heru Purnomo, Sekjen FSGI.

Heru menambahkan, ”Korban rata-rata berusia 12 tahun, dikenal pelaku melalui akun facebook.  Modus pelaku mengirimkan konten pornografi melalui grup WhatsApp anak anak korban dan video call pribadi dengan meminta anak korban melepas pakaiannya”.

Adapun wilayah kejadian berada di 5 (lima) provinsi  dan 10 kabupaten/kota dengan rincian kabupaten/kota sebagai berikut : 
1. Provinsi Lampung : kabupaten Mesuji, Lampung Tengah, Lampung Selatan, Lampung Utara dan Lampung Barat;
2. Provinsi Jawa Tengah : Kabupaten Batang dan Kota Semarang;
3. Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta : Kabupaten Gunung Kidul
4. Provinsi Jawa Timur : Kabupaten Jember
5. Provinsi DKI Jakarta : Kota Jakarta Timur

“Data tersebut  menunjukan bahwa 50% kasus KS di satuan pendidikan terjadi di provinsi Lampung, hal ini tentunya memerlukan pendalaman lebih jauh terkait factor sebab akibatnya dan upaya menanggulanginya. Sedangkan  20% terjadi di Jawa Tengah dan 10% masing-masing terjadi di DIY, Jawa Timur dan DKI Jakarta”, pungkas  Heru.

Modus  Kekerasan Seksual (KS)

Dari 10 kasus di tahun 2023 ini, FSGI mencatat  ada sejumlah modus pelaku dalam melancarkan aksi bejatnya terhadap anak korban, yaitu   sebagai berikut :

(1) Dibujuk agar mendapatkan barokah dari Tuhan oleh pelaku yang pemilik Ponpes
(2) valuasi pembelajaran di dalam ruang Podcast Ponpes pada pukul 23.00 wib kemudian dicabuli
(3) Diiming-imingi uang dan jajanan oleh pelaku
(4) Lapor dilecehkan teman sekolah ke Kepala sekolah, malah dicabuli Kepsek di ruang UKS dengan dalih memeriksa dampak pelecehan yang dilaporkan
(5) Guru kelas menyentuh pinggang dan dada, siswinya melawan, namun si guru malah mengulangi
(6) Guru agama periksa PR, siswi dipangku dan diminta kakinya mengangkang
(7) Pelaku bukan guru, ybs berkenalan dengan anak korban melalui medsos, lalu dimasukan korban ke  grup WA teman sekolahnya, pelaku melakukan video call, mengirimi video porno dan melakukan kekerasan seksual berbasis daring terhadap 22 siswi SD dari sekolah yang sama.
(8) korban diberi uang dan diajak ke kantin, lalu di ciumi dan diremas dadanya

Dari 8 modus tersebut, terutama kasus KS yang terjadi di satuan pendidikan berasrama berbasis agama, FSGI menilai bahwa relasi kuasa antara tokoh agama dan santrinya  melekat kuat di pesantren. Nilai-nilai ketakziman santri untuk memperoleh keberkahan guru dan semua perkataan kiai atau ustadnya merupakan sesuatu yang harus dilakukan jika tidak akan mengurangi keberkahan maupun syafaat. “Sehingga, Pelaku  biasanya dianggap memiliki kebenaran hakiki baik ucapan maupun tindakannya. Hingga hanya sedikit masyarakat yang mempercayai kebenaran peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban yang notabene masih di bawah umur”, tegas Retno.

Mutasi Bukan Hukuman

FSGI mengamati bahwa selama ini, jika terjadi kekerasan seksual yang dilakukan oleh pendidik, maka acuan hukuman yang digunakan oleh Dinas Pendidikan dan SKPD lainnya di Indonesia dalam mengurus guru dan non guru PNS dan PNS lainnya, yang menjadi pelaku pidana KS misalnya, maka biasanya digunakan Peraturan yang dipakai sebagai acuan adalah PP No.53 Tahun 2010. Tidak ada peraturan lain yang terkait mutasi khusus bagi  guru yang merugikan peserta didik kecuali PP No. 53 Tahun 2010 tersebut.

Dinas Pendidikan  di Indonesia umumnya menggunakan peraturan yang berlaku umum yaitu peraturan kepegawaian. Sehingga, yang dihukum dalam hal ini bukan jabatan gurunya melainkan pegawainya, sementara dalam hukum kepegawaian tidak ada hukuman penjara, sehingga kerap kali sanksi ketika korban tidak melapor ke polisi terkait perbuatan pelecehan seksual dan bahkan pencabulan adalah berupa mutasi. Padahal Mutasi sejatinya bukanlah hukuman, tetapi untuk promosi jabatan atau atas keinginan si pegawai sendiri. 

Dampaknya untuk sejumlah kasus, si guru pelaku mengulangi perbuatan yang sama kelak di kemudian hari di tempat bertugasnya yang baru dengan korban anak yang lain, artinya tidak ada efek jera dengan hukuman mutasi.

“ Misalnya, kasus KS guru agama  berinisal AM (33 tahun) dan berstatus PNS yang juga menjabat pembina OSIS  di SMPN di kabupaten Batang, Jawa Tengah (2022), ternyata pelaku sebelumnya diduga pernah melakukan KS di sekolah sebelumnya, namun keluarga korban tidak melapor ke polisi.  Ada juga kasus  guru agama  dengan status PNS berinisal M (51 tahun) di salah satu SD di kabupaten Cilacap  yang cabuli 15 siswinya di berakhir dengan mediasi yang kemudian guru pelaku  dimutasi, lalu berbuat KS lagi terhadap siswinya di sekolah yang baru”,  ujar Guntur Ismail, Ketua Tim Kajian Hukum FSGI.

Guntur menambahkan,” untuk kejahatan seksual  yang dilakukan secara berulang dengan melihat kasus dan dampak yang ditimbulkan bagi korban,orang tua,masyarakat dan latar belakang pelaku menyalahgunakan kekuasaan,hendaknya menjadi prioritas dalam penegakan hukum penerapan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 12 Tahun 2022 pasal 6 huruf  c dengan ancaman hukuman pidana 12 tahun penjara dan denda Rp 300.000.000 ( tiga ratus juta rupiah)”.

Rekomendasi

1. FSGI  mendorong Pemerintah Pusat maupun daerah untuk memastikan bahwa, para pendidik yang menjadi pelaku  kekerasan seksual pada anak didiknya harus dipidana, hal ini untuk mendorong adanya efek jera sekaligus tidak ada anak yang menjadi korban lagi. Kalau hukumannya hanya mutasi, maka diduga kuat guru pelaku tersebut  berpotensi  melakukan perbuatan yang sama di tempat yang baru dengan korban lain. Mendorong hukuman pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak  sesuai dengan mandat dari UU RI No. 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual yang menyatakan bahwa  Perkara tindak pidana kekerasan seksual,  tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan;

2. FSGI mendorong KemendikbudRistek melakukan sosialisasi secara masif  dan implementasi kebijakan dari Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan;

3. FSGI juga mendorong Kementerian Agama RI untuk melakukan sosialisasi dan implementasi kebijakan PMA No. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan penanggulangan Kekerasan seksual di Madrasah dan pondok pesantren atau satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemenag, mengingat kasus KS nya lebih tinggi jika dibandingkan dengan satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbudristek;

4. FSGI mendorong Kemenag RI dan Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Lampung melakukan sosialisasi dan implementasi kebijakan PMA No. 73 Tahun 2022 ke seluruh lembaga berbasis keagamaan (formal dan non formal) dengan menekankan keberpihakan terhadap korban. Mengingat, kasus-kasus KS terjadi disejumlah pesantren di wilayah Lampung;

5. FSGI mendorong Dinas-dinas Pendidikan Kabupaten/Kota/Provinsi dan Kantor Kemenag Kabupaten/Kota/Provinsi untuk melakukan Kerjasama dengan SKPD di daerah seperti Dinas PPPA dan P2TP2A Kabupaten/Kota/Provinsi dalam penanganan psikologi anak-anak korban kekerasan seksual, mengingat guru-guru BK tidak ada di jenjang Pendidikan Sekolah Dasar (SD);

6. FSGI mendorong pemerintah daerah untuk melakukan Kerjasama dengan Perguruan-perguruan Tinggi di wilayahnya yang memiliki Fakultas Psikologi untuk membantu pemulihan psikologi anak-anak korban kekerasan seksual, mengingat proses pemilihan psikologi anak korban KS umumnya membutuhkan waktu pemulihan yang cukup Panjang dan harus tuntas. sinpo

Komentar: