25 tahun reformasi

Mengingat Kerusuhan Mei 1998, Derita Traumatik Perempuan Tionghoa

Oleh: Ulil Albab Assidiqi
Sabtu, 13 Mei 2023 | 16:10 WIB
Pertemuan Habibie kepada Tim Relawan untuk Kemanusiaan (Publikasi Komnas Perempuan dalam Tragedi Mei 1998 Disangkal!
Pertemuan Habibie kepada Tim Relawan untuk Kemanusiaan (Publikasi Komnas Perempuan dalam Tragedi Mei 1998 Disangkal!

Tim Relawan untuk Kemanusiaan mendata hingga 3 Juli 1998 terdapat 168 korban kekerasan seksual  yang terjadi tak hanya di Jakarta, namun juga di Solo, Medan, Palembang, dan Surabaya.

SinPo.id -  Kerusuhan Mei 1998 yang berlangsung selama empat hari sejak 13 hingga 15 Mei 1998 menimbulkan rasa traumatis pada sebagian besar dirasakan perempuan Tionghoa di Indonesia. Termasuk bagi Lani bukan nama sebenarnya, menjadi korban kekerasan seksual yang dialami saat itu.

Tepat 13 Mei 1998 lalu Lani bersama suaminya pergi mengantarkan pesanan kue di Jakarta Barat. Namun, sebelum sampai di tujuan ia melihat kerumunan orang berada di kawasan pertokoan. Masa kerumunan meneriakan  intimidatif  terhadap warga Tionghoa

“Yang bukan Cina mundur dan yang Cina diam di tempat, jangan bergerak,” sebagaiamana yang diingat Lani dalam Publikasi Komnas Perempuan berjudul Tragedi Mei 1998 dalam Perjalanan Bangsa disangkal!

Melihat situasi tersebut, suami Lani langsung mutar balik motornya. Namun, kira-kira baru seratus meter memutar balik, motor yang Lani tumpangi terjatuh di jalan. Saat itu Suami Lani langsung pingsan. “Dan orang berlarian mengerubungi kami berdua. Ini Cina, ini Cina,” ujar Lani menirukan teriakan masa yang beirngas.

Badan Lani kemudian lantas digendong dan di bawa ke sana ke mari oleh beberapa orang. Lani hanya ingat banyak suara laki-laki yang didengarnya. Namun, setelah itu ia tak lagi ingat apa-apa lagi. “Ke mana dan bagaimana saya diperlakukan, saya tidak tahu persis. Saya seolah-olah merasa mati,” kenang Lani

Ia baru sadar dari pingsan ketika berada di sebuah rumah asing yang ia tak ketahui. Ia baru tahu ketika ada yang memberitahu tempat ia disleamatkan di rumah Haji Ramli, bukan nama sebenarnya, yang telah menolongnya.

Terkait kekerasan dialami Lani, Haji Ramli menceritakan menemukan Lani saat ia sedang mengojek. Lani ia temukan di sebuah empang di Jakarta Barat dalam keadaan tertelungkup dan telanjang. Haji Ramli saat itu memutuskan menyelamatkan Lani dan membawanya pulang ke rumah keluargannya untuk dirawat  selama tiga hari kemudian dibawa ke klinik.

Setelah seminggu dirawat di klinik, Lani diperbolehkan pulang. Ia diantar Haji Ramli ke rumah tinggal keluarganya semula. Kedatangan Lani disambut dengan isak tangis oleh anaknya dan bahkan membuat ibudanya kaget hingga pingsan.  Mereka mengira Lani sudah mati, hal itu dibuktikan dengan foto Lani ditempatkan di atas meja abu untuk leluhur yang sudah meninggal.

Kembalinya di rumah tinggal bersama keluarga itu diketahui bukan Lani saja yang menjadi korban kerusuhan. Keluarganya juga menjadi korban penjarahan oleh massa yang tak dikenal. Penjarahan tersebut membuat  ayahnya meninggal karena serangan jatung sedangkan ibunya terpaksa menggungsi ke rumah saudara bersama anaknya.

Derita Lani tak berhenti di situ, saat ia menceritakan kekerasan seksual dialaminya kepada suaminya, justru mengubah sikap suami. Suaminya justru tak mengakuinya sebagai isteri, hal ini kemudian berakhir pengusiran dirinya beserta ibu dan anak-anaknya.

Lani sempat berniat bunuh diri, namun saat ia mengingat anak dan ibunya, ia mengurungkan niatnya. Lani perlahan bangkit dari rasa traumanya. Bantuan dari Haji Ramli berupa uang pinjaman, membuat usahanya kembali berjalan dan ia menjadi mandiri secara ekonomi.

Sikap Presiden Habibie

Derita yang dialami Lani satu dari sekian banyak korban yang mayoritas perempuan Tionghoa di Indonesia. Pada tanggal 16 Juni 1998, 4 ribu warga yang tergabung dalam Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan mengeluarkan pernyataan kecaman terhadap pemerintah Orde Baru atas ketidakseigapannya menghadapi laporan dari masyarakat atas terjadinya ekerasan seksual dalam kerusuhan Mei.

Tim Relawan untuk Kemanusiaan mendata hingga 3 Juli 1998 terdapat 168 korban kekerasan seksual  yang terjadi tak hanya di Jakarta, namun juga di Solo, Medan, Palembang, dan Surabaya. Tim relawan berhasil bertemu dengan Presiden Habibie pada 13 Juli 1998. Di sana dialog berlangsung alot, awalnya Habibie merasa pemerintah tak perlu meminta maaf.

Namun setelah  dialog yang berlansung selama dua jam, Habibie kemudian mengingat bahwa saudara perempuannya yang bekerja sebagai dokter juga menceritakan peristiwa yang serupa yang dialami korban.

Setelah mengingat cerita tersebut,  sikap Habibie berubah dan bersedia membuat pernyataan maaf atas nama pemerntah. Sikap Habibie tersebut membuat kaget Letnan Jenderal Sintong Panjaitan, penasihat militer presiden.  “Pak apakah hal ini tidak perlu dibahas di rapat kabinet dulu?”

Dalam bahasa Inggris, Habibie menampik pendapat Sintong secara halus, “Can I have my own opinion? Saya kebetulan setuju dengan ibu-ibu tokoh masyarakat ini,” kenang guru besar Saparinah Sadli yang saat itu anggota tim relawan.

Dari pertemuan tersebut, hasilnya tak hanya sebuah permintaan maaf, pemerintah juga membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan membentuk Komisi Nasional  Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Mantan direktur Kalyanamitra Ita Fatia Nadia mencatat sejak empat hari kerusuhan mei 1998, ia menerima 200 pengaduan kasus perkosan.  Dari laporan tersebut sekitar 189 kasus yang terverifikasi kebenarannya.

Temuan TGPF melaporkan kekerasan seksual tersebut terjadi di dalam rumah, di jalan dan di depan tempat usaha.  Mayoritas kekerasan seksual terjadi di dalam rumah atau bangunan.

TGPF juga menemukan sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, korban mengalami kekerasan seksual oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama.  Mayoritas kasus itu dilakukan di hadapan orang lain.

“Meskipun korban kekerasan tidak semuanya berasal dari etnis Cina, namun sebagian besar kasus kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 lalu diderita oleh perempuan etnis Cina,” tulisnya dalam laporan TGPF berjudul Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.

 

 sinpo

Komentar: