UU TPKS

DPR Minta Pemerintah Terbitkan Aturan Pelaksana untuk Efektivitas UU TPKS

Laporan: Juven Martua Sitompul
Kamis, 25 Mei 2023 | 12:59 WIB
Ketua DPR RI Puan Maharani  (SinPo.id/Galuh Ratnatika)
Ketua DPR RI Puan Maharani (SinPo.id/Galuh Ratnatika)

SinPo.id - Ketua DPR RI Puan Maharani mendorong pemerintah segera menerbitkan aturan pelaksana implementasi atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Penerapan hukuman terhadap pelaku serta perlindungan bagi korban kekerasan seksual dinilai masih terhambat karena belum ada aturan teknis sejak disahkan setahun lalu.

"Pemerintah harus memberi dukungan untuk memastikan penghapusan kekerasan seksual, yang sebagian besar korbannya adalah perempuan dan anak. Aturan pelaksana sebagai implementasi atas penerapan UU TPKS harus segera diterbitkan," kata Puan dalam keterangan tertulis, Jakarta, Kamis, 25 Mei 2023.

Menurut Puan, kasus kekerasan seksual di Tanah Air harus ditangani serius oleh pemerintah. Dia menilai UU TPKS seharusnya bisa diterapkan pada kasus kekerasan seksual jika sudah ada aturan teknisnya.

 

"Kasus kekerasan seksual di Indonesia sudah menjadi fenomena gunung es. Jangan sampai perjuangan kami di DPR, perjuangan para aktivis dan seluruh elemen bangsa lainnya sampai akhirnya UU TPKS terealisasi menjadi sia-sia," ujar Puan.

Sejauh ini sudah ada lima peraturan pemerintah dan lima peraturan presiden yang akan dibuat sebagai amanat dari UU TPKS. Namun, pemerintah menyepakati penyederhanaan pembentukan aturan turunan menjadi 3 Peraturan Pemerintah dan 4 Peraturan Presiden.

Untuk itu, mantan Menko PMK itu pun menyoroti perlunya aturan pendukung untuk penanganan korban kekerasan dari sisi psikologis yang dapat diberikan pemerintah. Puan meminta komitmen pemerintah dalam mempercepat penerbitan aturan teknis demi efektivitas UU TPKS.

"Apalagi, kondisi psikologis korban yang terguncang seringkali membuat mereka tidak sanggup untuk melapor. Penegak hukum beserta lembaga terkait juga menjadi terhambat dalam menangani kasus karena belum ada pedoman rigidnya," ucap dia.

Puan mendorong masyarakat untuk memberi bantuan kepada korban yang mengalami kekerasan seksual. Peran lingkungan sekitar menjadi garda terdepan dalam perlindungan terhadap korban.

"Diperlukan gotong royong seluruh stakeholder dalam mengatasi masalah kekerasan seksual di mana biasanya korban enggan melapor karena takut dihakimi," katanya.

Di samping dari itu, Puan menekankan upaya perlindungan dari tindak kekerasan seksual dapat dimulai dari tahapan pencegahan. Proses tersebut harus diawali dengan memberikan edukasi kepada masyarakat.

"Sosialisasi UU TPKS sangat penting karena sosialisasi itu merupakan bagian dari edukasi kepada masyarakat. Bila terjadi tindak kekerasan, masyarakat yang sudah memahami bisa melaporkan kepada penegak hukum," ucap Puan.

Tak hanya itu, Puan menyinggung kurangnya infrastruktur rumah aman bagi korban kekerasan seksual maupun saksi. Sebab, belum semua kota di Indonesia memiliki lembaga pendamping korban kekerasan seksual.

"Sejalan dengan penerapan UU TPKS, pemerintah juga harus menyiapkan rumah aman yang lokasinya dirahasiakan guna melindungi korban kekerasan seksual baik fisik ataupun psikis mereka," kata dia.

Menurut Puan, rumah aman bisa dikoordinasikan secara lintas instansi, termasuk pihak kepolisian. Nantinya, instansi-instansi terkait dapat mendampingi dan memberikan perlindungan kepada para korban sesuai kewenangannya masing-masing.

"Rumah aman ini sangat penting karena korban kekerasan seksual dan KDRT, posisinya rawan atau berisiko mendapat tekanan. Antisipasi jika terjadinya intimidasi, terutama dari pelaku," tegas Puan.

Puan menegaskan efek jera baru akan didapat apabila pelaku kekerasan seksual mendapat hukuman yang setimpal. Dia tak sepakat jika kekerasan seksual diselesaikan dengan jalur damai

"Harus ada hukuman agar menimbulkan efek jera bagi pelaku. Karena sekali perempuan menjadi objek kekerasan seksual, tidak menutupi akan ada kejadian serupa lagi," tegas Puan.

Komisi nasional (Komnas) Perempuan mencatat kasus kekerasan seksual terbanyak dilaporkan pada 2022. Terdapat 2.228 kasus yang memuat kekerasan seksual atau 65 persen dari total 3.422 kasus kekerasan berbasis gender.

Terbaru, ditemukan kasus kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren. Sedikitnya 41 santri menjadi korban pencabulan di pondok pesantren di Sakra Timur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) di mana pelaku pencabulan merupakan pimpinan pondok pesantren tersebut.sinpo

Komentar: