RUU KIA

Putus Diskriminasi Perempuan, Baleg DPR Dorong Percepatan RUU KIA

Laporan: Juven Martua Sitompul
Kamis, 15 Juni 2023 | 18:58 WIB
Anggota Baleg DPR RI Luluk Nur Hamidah (SinPo.id/ Parlementaria)
Anggota Baleg DPR RI Luluk Nur Hamidah (SinPo.id/ Parlementaria)

SinPo.id - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mendorong percepatan proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) dipercepat sehingga bisa segera disahkan. RUU KIA dibutuhkan guna memutus diskriminasi terhadap perempuan.

Anggota Baleg DPR RI Luluk Nur Hamidah meminta pembahasan RUU KIA tidak berat sebelah. RUU KIA harus memprioritaskan kepentingan Ibu dan Anak.

"Pemerintah sepertinya main-main dengan apa yang selalu digaungkan, generasi emas, SDM unggul, bebas stunting serta yang lainnya. Tapi masih setengah hati ketika berhadapan dengan kalangan industri," kata Luluk dalam keterangan tertulis, Jakarta, Kamis, 15 Juni 2023.

Luluk menjelaskan salah satu yang diatur dalam RUU KIA, yakni adanya tambahan cuti bagi ibu hamil dan melahirkan menjadi 6 bulan. RUU ini juga mengatur cuti untuk pekerja lelaki yang istrinya melahirkan atau sering disebut sebagai cuti ayah. Namun, Luluk menilai tidak banyak kemajuan fakultatif dalam DIM pemerintah.

"Saya juga baca DIM (Daftar Inventaris Masalah) pemerintah, soal cuti bagi ibu dan ayah enggak banyak kemajuan bersifat fakultatif," kata dia.

Kendati begitu, Luluk mengamini aturan itu mendapat penolakan dari sejumlah kalangan industri, termasuk Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Pihak perusahaan memandang aturan cuti melahirkan bagi perempuan melahirkan akan berdampak kurang baik bagi kinerja perusahaan.

Luluk menekankan agar persoalan ini tidak menjadi polemik.  Sebab. Ada solusi lain untuk perusahaan jika tambahan cuti melahirkan diterapkan.

"Jelas bisa diatur dalam pasal-pasal secara terperinci, tidak perlu mengkhawatirkan bahwa RUU KIA tidak akan mengakomodir kepentingan industri," kata Luluk.

Oleh karenanya, anggota Komisi VI ini mengingatkan pemerintah untuk bersikap tegas. Pemerintah bahkan seharusnya bisa menjembatani perjuangan para pekerja perempuan dengan perusahaan. 

"Salah satu solusi yang bisa diajukan pemerintah ialah gaji para pekerja perempuan bisa dibebankan melalui jaminan sosial selama cuti enam bulan tersebut," ujar dia.

Luluk mengatakan sejauh ini aturan mengenai hal itu sedang dibahas lebih lanjut dalam Daftar Inventarisasi Masalah. "Ada kemungkinan gaji tiga bulan dibayarkan negara, atau bahkan bisa saja negara membayarkan semuanya selama cuti, masih (dalam) kajian," tegas Luluk.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI