Putra Aung San Suu Kyi Minta Internasional Berlakukan Sanksi Keras untuk Militer Myanmar

Laporan: Galuh Ratnatika
Kamis, 20 Juli 2023 | 16:38 WIB
Aung San Suu Kyi dan putranya Kim Aris (SinPo.id/ AP Photo)
Aung San Suu Kyi dan putranya Kim Aris (SinPo.id/ AP Photo)

SinPo.id - Kim Aris, putra dari Aung San Suu Kyi, yang merupakan kepala pemerintahan Myanmar sebelum dikudeta, meminta kepada internasional untuk memberlakukan sanksi lebih keras terhadap militer Myanmar. Terutama dengan membatasi militer Myanmar untuk mengakses bahan bakar penerbangan.

Aris, diketahui telah menghabiskan satu bulan di Myanmar bersama dengan para pejuang perlawanan, petugas medis, dan sukarelawan yang berperang melawan rezim militer atau junta Myanmar.

Menurutnya, pemerintah di negara-negara internasional tidak banyak berbicara tentang perang saudara di Myanmar. Mereka hanya mengutuk Junta Myanmar, tanpa mengambil langkah-langkah yang konkret untuk membantu menyelesaikan persoalan tersebut.

"Sayangnya, saya pikir itu semacam indikasi ketidaktertarikan orang-orang terhadap apa yang terjadi di sisi lain dunia, sampai orang-orang itu sendiri mulai terlibat, pemerintah tidak mungkin melakukan apa-apa. Mereka telah mengutuk apa yang terjadi, tetapi sekarang perlu mengambil langkah yang lebih berarti," kata Aris, dilansir dari Sky News, Kamis, 20 Juli 2023.

Ia sangat berharap ada sanksi yang lebih keras untuk memastikan militer dibatasi atau sepenuhnya terputus dari bahan bakar penerbangan dan hal-hal semacam itu. Pasalnya, Junta Myanmar selalu menggunakan jet tempur untuk mengebom sasaran selama perang saudara.

Terlebih, kata Aris, China dan Rusia telah menjadi pemasok utama senjata canggih untuk militer Myanmar. Hal itu ia sampaikan berdasarkan laporan dari Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia.

Di samping itu, dia juga mengaku belum mendengar kabar tentang keberadaan ibunya sejak pemerintahannya digulingkan lebih dari dua tahun yang lalu. Karena tidak ada berita konkret tentang keberadaan Suu Kyi, bahkan Aris juga belum dapat berkomunikasi dengannya.

"Ya. Saya belum benar-benar menerima berita konkret tentang keberadaannya dan saya belum berkomunikasi dengannya sejak sebelum kudeta," tuturnya.

Seperti diketahui, penguasa militer Myanmar telah berulang kali memenjarakan Suu Kyi di bawah tahanan rumah antara tahun 1989 dan 2010 karena mereka memandangnya sebagai seseorang yang merusak perdamaian dan stabilitas negara.

Namun, setelah dibebaskan dari tahanan rumah untuk terakhir kalinya, dia justru menjadi penasihat negara, dan mendapat gelar pemimpin de facto yang setara dengan perdana menteri, pada tahun 2016. Kemudian, Suu Kyi dan para pemimpin lain yang terpilih secara demokratis, memimpin eksperimen demokrasi di negara itu sebelum dikudeta militer pada 2021.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI