Akhir Tahun 2022, Perekonomian Global Terus Dihantam Perlambatan

Laporan: Galuh Ratnatika
Jumat, 09 Desember 2022 | 15:38 WIB
Ilustrasi/pixabay
Ilustrasi/pixabay

SinPo.id -  Pemerintah hingga saat ini masih terus menjaga resiliensi petekonomian dalam menghadapi ancaman resesi global 2023, lantaran perekonomian global masih terus menghadapi hantaman perlambatan pertumbuhan ekonomi saat memasuki kuartal terakhir tahun 2022.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, hal tersebut dikarenakan efek lanjutan downside risks  dari pandemi Covid-19 yang hingga saat ini belum usai sepenuhnya.

"Proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang disajikan sejumlah lembaga internasional juga memperlihatkan hal yang sama, dimana untuk tahun 2022 akan berada pada rentang 2,8 persen sampai 3,2 persen dan terpangkas tajam untuk tahun 2023 dari yang semula diharapkan bertengger pada rentang 2,9 persen -3,3 perse  menjadi hanya 2,2 persen -2,7 persen," kata Airlangga, Jumat 9 Desember 2022.

Ia menyatakan terdapat banyak tantangan untuk pemulihan perekonomian global, yakni dari global shocks berupa lonjakan inflasi yang tinggi, pengetatan likuiditas dan suku bunga yang tinggi, stagflasi, gejolak geopolitik, climate change, serta krisis yang terjadi pada sektor energi, pangan, dan finansial.

Ketidakpastian yang tinggi akibat dari kondisi tersebut juga telah menempatkan perekonomian global berada dalam pusaran badai yang sempurna, the perfect storm, sehingga mengakibatkan munculnya ancaman resesi global pada tahun 2023 nanti.

"Pandemi Covid-19 menunjukkan kepada kita bahwa global solidarity bukan hanya jargon. Tidak ada yang benar-benar aman, sampai seluruh dunia aman," katanya menambahkan.

Selain itu, sinyal pelemahan ekonomi global ini juga tercermin dari kembali melambatnya Purchasing Managers’ Index (PMI) global yang berada di level kontraksi 48,8 pada bulan November 2022, setelah pada bulan sebelumnya tercatat pada 49,9.

"Sejumlah negara di dunia yang terlihat masih mengalami kontraksi PMI pada bulan November seperti di China (49,4), United Kingdom (46,5), Amerika Serikat (47,7), Jepang (49), dan Jerman (46,2)," paparnya.

Mencermati tingginya ketidakpastian perekonomian global tersebut, Airlangga menegaskan perekonomian nasional patut untuk memiliki kewaspadaan tinggi dan bersiap menghadapi stagflasi global. 

"Tekanan capital outflow, depresiasi nilai rupiah, serta penurunan ekspor dan kinerja manufaktur yang berpotensi meningkatkan PHK menjadi dampak risiko eksternal yang harus mendapatkan perhatian lebih untuk diantisipasi," tegasnya.sinpo

Komentar: