Koalisi Masyarakat Sipil Ingin Sidang Petaka Kanjuruhan Terbuka Untuk Publik

Laporan: Sinpo
Kamis, 19 Januari 2023 | 14:29 WIB
Ilustrasi (SinPo.id/Pixabay.com)
Ilustrasi (SinPo.id/Pixabay.com)

SinPo.id -  Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum Pos Malang (LBH Malang), Lembaga Bantuan Hukum Surabaya (LBH Surabaya), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lokataru Foundation, dan IM57+ Institute mendorong Komisi Yudisial mengawasi agar proses sidang Tragedi Kanjuruhan dapat diakses seluas-luasnya oleh publik.

Dorongan itu terkait berbagai keganjilan proses sidang, mulai terbatasnya akses terhadap pengunjung, terdakwa dihadirkan secara daring dan diterimanya anggota Polri sebagai penasehat hukum dalam persidangan pidana oleh Majelis Hakim. 

“Dorongan kepada Komisi Yudisial yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil merupakan tindak lanjut dari keputusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang membatasi akses persidangan terhadap pengunjung,” kata tulis pernyataan resmi koalisi masyarakat sipil, Kamis, 19 Januari 2023.

Koalisi masyarakat sipil  menilai langkah PN Surabaya membatasi akses persidangan tragedi Kanjuruhan merupakan tidak tepat. Sebab, menurut Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jo. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman, mewajibkan bagi Majelis Hakim dalam setiap pemeriksaan di pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum. 

“Seharusnya, masyarakat khususnya Keluarga Korban tragedi Kanjuruhan serta Jurnalis media diberikan akses seluas-luasnya untuk dapat melihat setiap proses dan tahapan persidangan para Terdakwa tragedi Kanjuruhan tersebut,” tulis pernyataan itu lebih lanjut.

Koalisi sipil itu menilai pembatasan terhadap akses persidangan mengindikasikan ada upaya untuk menutupi proses hukum tragedi Kanjuruhan. Jika pembatasan pengunjung dalam persidangan tersebut adalah faktor keamanan, maka seharusnya PN Surabaya dapat memberikan pilihan lain agar jurnalis dan masyarakat tetap dapat melihat dan memantau jalannya persidangan.

Selain itu, dalam sidang perdana pada 16 Januari 2023 yang menghadirkan terdakwa secara online menyalahi ketentuan Pasal 154 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dalam pasal itu menyatakan terdakwa wajib hadir pada sidang pemeriksaan di pengadilan. Terlebih lagi, Pemerintah telah mencabut kebijakan pemberlakuan dan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) pada Desember 2022 lalu yang berarti tidak ada alasan hakim untuk dalam menghadirkan terdakwa secara online.

Keganjilan lain berupa diterimanya anggota Polri sebagai penasehat hukum dalam persidangan pidana. Keputusan tersebut bertentangan dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang mana dalam proses pidana, Polisi tidak memiliki wewenang untuk melakukan pendampingan hukum di persidangan pidana.

Profesi yang berhak mengenakan atribut toga dan melakukan pendampingan hukum dalam persidangan pidana adalah seorang advokat. Anggota polri tidak dapat menggunakan atribut/toga advokat. Untuk menjadi advokat harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana sudah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.sinpo

Komentar: