Perhimpunan Pesantren Sebut RPP Kesehatan Ancam Perekonomian Ekosistem Tembakau

Laporan: Sinpo
Kamis, 12 Oktober 2023 | 19:58 WIB
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) usai menggelar Halaqoh Nasional khusus mengkaji RPP Pengamanan Zat Adiktif produk tembakau (SinPo.id/Ist)
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) usai menggelar Halaqoh Nasional khusus mengkaji RPP Pengamanan Zat Adiktif produk tembakau (SinPo.id/Ist)

SinPo.id -  Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) bersama jejaring aliansi masyarakat sipil, asosiasi petani dan industri tembakau, akademisi, tenaga kesehatan serta tokoh agama telah menggelar Halaqoh Nasional khusus mengkaji Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengamanan Zat Adiktif produk tembakau.

Halaqah yang digelar di Jakarta, Kamis 12 Oktober 2023 merekomendasikan menemukan draf RPP pengamanan zat adiktif telah mengancam perekonomian ekosistem tembakau.

“Dalam draft RPP 2023 tersebut justru memuat makin banyak pelarangan atau restriksi secara masif dan eksesif,” ujar Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Sarmidi Husna, dalam pernyataan.

Bahkan ia menyebut dalam beberapa pasal RPP itu menyebutkan produk tembakau diposisikan lebih terlarang bagi publik dibandingkan miras, narkoba dan psiktropika. “Hal ini jelas terlihat dalam draft pasal RPP itu,” ujar Sarmidi menambahkan.

Sejumlah pasal dalam draf itu di antaranya pasal 441 tentang larangan displai produk tembakau via e-commerce serta larangan penjualan eceran atau batang, pasal 449 tentang larangan beriklan dengan produk tembakau, pasal 452 tentang larangan sponshorsip produk tembakau untuk kegiatan sosial, pendidikan, olahraga, musik, kepemudaan atau kebudayaan, serta pasal 453 tentang larangan peliputan dan publikasi media menggunakan produk tembakau.

Padahal,  kata Sarmidi, Mahkamah Konstitusi telah tujuh kali memutuskan dengan tegas mengkategorikan produk tembakau sebagai produk legal. Putusan MK tersebut, antara lain Putusan MK No 54/PUU-VI/2008; Putusan MK No. 6/PUU-VII/2009; Putusan MK No 19/PUU-VIII/2010; Putusan MK No 34/PUU-VIII/2010; Putusan MK No 57/PUU-IX/201; Putusan MK No 71/PUU-XI/2013; dan Putusan MK No 81/PUU-XV/2017. Karena berkategori produk-legal, maka produk tembakau hanya bisa “diatur” dan bukan “dilarang” (restricted) seperti laiknya miras, narkoba dan psiktropika. Dengan demikian, draf RPP pemerintah yang menjadi turunan pasal 152 UU UU Kesehatan 17/2023 jelas bertentangan dengan ketujuh (7) putusan MK di atas.

Dalam halaqah itu juga menunjukkan isu krusial lain dalam draft RPP tersebut adalah Pasal 457 ayat 7 tentang pemberian mandat pemerintah kepada Kementerian Pertanian untuk memaksa petani tembakau melakukan diversifikasi produk tanaman tembakau dan alih tanam kepada produk pertanian lain.

“Pasal tersebut jelas sangat merugikan langsung petani dan tampak mewakili agenda korporasi asing yang sekedar mengacu pada Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dan sarat dengan narasi blaming the victims,” ujar Sarmini menjelaskan.

Ia menuding fakta itu membuktikan lemahnya political-will pemerintah untuk melindungi dan menjamin hak ekonomi social budaya keluarga para petani tembakau sebagai penghasil komoditas unggulan.

“Akibatnya para petani terancam dan mereka selalu menjadi pesakitan dengan stigma penguras anggaran kesehatan, penyebab kematian, dan seterusnya,”katanya.

Ia minta agar pembahasan RPP pelaksanaan UU Kesehatan 2023 terkait Pengamanan Zat Adiktif harus  melibatkan partisipasi publik secara luas dan berimbang. Selain itu juga mengeluarkan pasal-pasal terkait Pengamanan Zat Adiktif dari draft RPP 2023 agar dibahas secara terpisah karena bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan UU Perkebunan.

 sinpo

Komentar: