Kerusakan Hutan Nasional Akibat Sawit Mencapai 8,4 Juta Hektare, Kerugian Negara Rp220 Triliun

Laporan: Sinpo
Kamis, 23 Juni 2022 | 01:01 WIB
Ilustrasi kerusakan hutan (SinPo.id/Pixabay.com)
Ilustrasi kerusakan hutan (SinPo.id/Pixabay.com)

SinPo.id -  Belum adanya penertiban kebun sawit ilegal yang berada di kawasan hutan oleh pemerintah selama tujuh tahun terakhir ini membuat 8,4 juta hektare hutan rusak dengan kerugian negara mencapai  Rp220 triliun. Padahal Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, jelas mengatur berbagai persoalan perusakan hutan.

"Ada 878 di 8 provinsi, di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Riau, Jambi dan Jawa Barat, luasnya 8,4 juta hektar kerugiannya kayunya saja hampir Rp220 triliun,” ujar anggota Komisi IV DPR RI, Darori Wonodipuro saat rapat dengar pendapat Panja Penyelesaian Penggunaan dan Pelepasan Kawasan Hutan di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Selasa (21/6) kemarin.

Menurut Darori, pengruskan hutan menjadi areal perkebunan itu sampai sekarang belum tersentuh. “Ini pencucian perusahaan yang tadinya bermasalah diganti nama PT terus diminta pelepasan," Darori menambahkan.

Padahal, berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2020 ada sekitar 2,9 juta hektare lahan ilegal juga belum ditindaklanjuti.  Hal itu menjadi alasan Darori meminta penggiat, pemerhati lingkungan, akademisi untuk dapat mendorong penindakan dan penertiban kebun-kebun sawit ilegal yang merugikan negara.

Menurut Darori, munculnya kebun sawit ilegal disebabkan karena otonomi daerah yang memberikan kewenangan penuh termasuk kehutanan di ranah kabupaten. Meski saat ini kewenangan telah ditarik ke tingkat provinsi, hal tersebut dinilai masih belum efektif. “Sebab, di lapangan pengawasannya masih belum maksimal,” kata Darori menjelaskan.

Tercatat kewenangan pengawasan ditarik provinsi yang  membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Namun berdasarkan catatan Darori, tak diimbangi dengan SDM di lapangan, sehingga keberadaan  hutan lindung di Jawa maupun luar Jawa tambah hancur.

“Karena tidak ada orang yang jaga. Ini faktalah, kami mendorong kepada pemerintah apa yang harus dilakukan?"katanya.

Perwakilan WWF Nursyamsu menyampaikan temuan hasil investigasi pada  tahun 2019 menemukan 43 perusahaan yang terbukti mengembangkan perkebunan sawit dalam kawasan hutan secara ilegal.  "Terbukti dari temuan - temuan kita, banyak perusahaan tidak hanya mengelola di HGU tetapi juga di luar HGU dan berada dalam kawasan hutan," kata Nursyamsu.

Selain itu WWF juga menemukan setelah berlakunya UU Ciptakerja muncul beberapa perusahaan yang sebelumnya diduga ilegal berganti menjadi kelompok tani dan koperasi.

"Ini yang sekarang terjadi, perusahaan yang tadi kami investigasi di tahun 2019 berubah menjadi papan informasi berupa kelompok tani dan koperasi,” kata Nursyamsu menjelaskan.

Lembaganya mengusulkan perlunya transparansi publikasi data dan informasi kebun sawit yang terlanjur dalam kawasan hutan agar semua masyarakat tahu ada kebun sawit yang terlanjur dalam kawasan hutan.

"Berkoordinasi dan pelibatan teknis dengan pemerintah daerah, berkolaborasi dengan CSO dan pihak terkait mulai dari pendataan hingga rekomendasi penyelesaian. Ini penting karena beberapa CSO bisa jadi memiliki data dan informasi," katanya.sinpo

Komentar: