Ancaman Baru Ekonomi Indonesia ke Depan Lebih Menakutkan Ketimbang Dampak Pandemi COVID-19

Laporan: Tri Bowo Santoso
Rabu, 03 Agustus 2022 | 03:56 WIB
Ilustrasi. Foto: @jogjakarta_news
Ilustrasi. Foto: @jogjakarta_news

SinPo.id - Bila selama dua tahun belakangan ini ekonomi di Tanah Air terpuruk akibat pandemi COVID-19, ke depannya bakal muncul ancaman baru lagi yang lebih menakutkan

Demikian disampaikan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dalam acara Mid Year Economic Outlook Bisnis Indonesia, Selasa, 2 Agustus 2022. 

Suahasil menjelaskan, ancaman baru itu adalah meningkatnya inflasi di banyak negara, khususnya di negara besar yang kapasitas ekonominya besar. Suahasil menjelaskan inflasi yang tinggi akan berbuah pada pengetatan kebijakan moneter, misalnya kenaikan suku bunga.

Misalnya saja di Amerika Serikat, inflasi sudah menyentuh angka 9,1%. Mau tak mau Bank Sentral Federal Reserve pun meningkatkan suku bunga acuan.

"Virus tak terlalu intens lagi saat ini, sementara kondisi ekonomi global bergerak. Bergerak ke mana? Ke arah situasi di mana inflasi meningkat di berbagai belahan dunia. Di Amerika inflasi sekarang 9,1%, itu bukan sesuatu yang simple, bahkan sangat jarang terjadi. Ini akan timbulkan respons kebijakan," ungkap Suahasil dilansir Detikfinance. 

Terkait dengan rencana bank sentral menaikan  suku bunga, Suahasil menjelaskan, maka dampaknya arus modal asing akan bergerak ke luar negara berkembang menuju Amerika Serikat. Hal ini juga terjadi bagi Indonesia.

Indonesia akan mengalami tekanan karena kehilangan investasi. Bukan itu saja, arus modal yang keluar dapat melemahkan nilai tukar mata uang Rupiah.

"Salah satu responsnya kan adalah peningkatan suku bunga. Kalau ada peningkatan suku bunga maka capital (modal) akan bergerak ke Amerika. Negara emerging market macam Indonesia yang kena dampaknya, maka Indonesia akan alami tekanan, tekanan dari capital yang bergerak," ujar Suahasil.

Pada kesempatan yang sama, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, kenaikan suku bunga bank sentral di berbagai negara dapat membuat Indonesia makin mahal untuk berutang.

"Dengan kenaikan suku bunga The Fed, ini akan meningkatkan cost of fund untuk kita terbitkan bond atau sukuk, biayanya akan meningkat. Ini harus dijaga," ujar Airlangga.

Namun, Airlangga menilai Indonesia mendapatkan berkah dari kenaikan harga komoditas. Maka dari itu pendapatan negara bertambah. Pendapatan yang makin besar ini dapat digunakan untuk pembiayaan berbagai hal dan bukan tidak mungkin menahan utang.

Sementara itu, akademisi dari Universitas Bung Karno, Gede Sandra, menilai, pendapatan negara darii kenaikan harga komoditas sebagaimana yang dikatakan Airlangga Hartarto tak memberikan pengaruh apa-pun untuk menghindari krisis. 

"Berkah pendapatan faktanya tidak juga bisa menahan penarikan utang pemerintah. Buktinya Menkeu baru berutang lagi Rp 121 triliun, meskipun ngakunya anggaran surplus paruh tahun awal," ungkap Gede Sandra.

Gede Sandra justru sependapat dengan forecast yang disampaikan Suahasil. 

"Apa yang disampaikan Suahasil adalah kekhawatiran semua ekonom saat ini. Misalnya, ada stagflasi. Pertumbuhan stagnan bahkan melambat, tapi inflasi menggila," tutur Gede Sandra. 

"Ini adalah akibat dari rezim 'quantitative easing' (QE) yang diterapkan AS, Barat, dan China beberapa tahun belakangan setelah krisis Finansial 2008. Triliunan mata uang dollar, euro dicetak untuk menstimulus ekonomi, tapi setelah terjadi perang Rusia-Ukraina, terbukti ternyata QE tidak membangkitkan ekonomi, tapi malah membuat terjadinya inflasi yang semakin menggila," tandas Gede Sandra.

 sinpo

Komentar: