Ketua DPD RI Sebut Penjajahan Ekonomi Pelanggaran HAM Kesejahteraan

Laporan: Juven Martua Sitompul
Sabtu, 10 Desember 2022 | 16:15 WIB
Ketua DPD RI, La Nyalla Mattalitti (SinPo.id/Instagram)
Ketua DPD RI, La Nyalla Mattalitti (SinPo.id/Instagram)

SinPo.id -  Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti menyebut penjajahan ekonomi pada hakikatnya adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya hak atas kesejahteraan.  LaNyalla  menyebut tujuan lahirnya negara untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

"Hak Asasi paling mendasar dan substansial adalah kemerdekaan semua bangsa. Ini sudah dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Tertuang dalam naskah Pembukaan UUD kita,” kata LaNyalla saat seminar nasional Hari HAM Internasional bertema 'Urgensi Penegakan HAM Demi Mewujudkan Indonesia Yang Berkeadilan' yang diprakarsai Aliansi BEM Nusantara Daerah Lampung, Sabtu, 10 Desember 2022.

Hal itu menjadi landasan tidak boleh ada kolonialisme dalam bentuk apapun dalam negara, karena itu sama dengan penjajahan. Meski LaNyalla mengatakan hari ini terjadi pola kolonialisme dalam bentuk baru yang menyusup melalui wajah Globalisasi menyatu dengan oligarki ekonomi di dalam negeri. Menurut LaNyalla, integrasi ini ditandai dengan sejumlah perjanjian internasional sebagai konsekuensi pergaulan internasional yang memaksa bangsa ini untuk menjalaninya.

"Persoalannya adalah perjanjian-perjanjian atau ratifikasi hukum internasional tersebut berlatar kebutuhan kita atau kebutuhan mereka?" Kata LaNyalla mempertanyakan.

Ia mengkritik terhadap persoalan Hak Asasi Manusia saat ini karena penjajahan dalam bentuk lain masih terjadi. “Indonesia menjadi salah satu korban penjajahan ekonomi, melalui globalisasi yang berwatak predatorik," kata LaNyalla menjelaskan. 

Senator asal Jawa Timur itu mengatakan  penjajahan ekonomi dalam bentuk baru menyebabkan jutaan rakyat Indonesia kehilangan hak atas kesejahteraan. Padahal, hak atas kesejahteraan itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi.

Ia mencontohkan saat krisis moneter di tahun 1997-1998 dibarengi penandatanganan Letter of Intent IMF oleh Presiden Soeharto. Sedangkan IMF mensyaratkan penghapusan subsidi dan proteksi demi kepentingan pasar bebas.

“Siapa yang happy dari penandatanganan Letter of Intent IMF? Kita atau kapitalisme global?" katanya.

Ia mengatakan negara wajib memastikan keselarasan dengan konstitusi dan mentransformasikan ke hukum nasional dalam proses ratifikasi perjanjian internasional. sinpo

Komentar: