WALHI : Bencana di Pulau Jawa Akibat Salah Urus Tata Ruang

Laporan: Sinpo
Senin, 23 Januari 2023 | 17:28 WIB
Ilustrasi bencana alam (SinPo.id/pixabay.com)
Ilustrasi bencana alam (SinPo.id/pixabay.com)

SinPo.id -  Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Region Jawa menyebut tingginya angka kejadian bencana di Pulau Jawa bukan hanya disebabkan faktor alam, melainkan perpaduan antara dampak perubahan iklim, salah urus penataan ruang, mega infrastruktur, dan ekonomi politik penguasaan ruang.

“Dari keseluruhan faktor dampak bencana tersebut, kamimendefinisikan bencana yang melanda Pulau Jawa sebagai bencana ekologis,” kata pegiat WALHI Jawa Tengah, Fahmi Bastian, saat konferensi pers bersama, Senin 23 Januari 2023.

Catatan WALHI Jateng menyebutkan salah urus tata ruang berdampak pada penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan menjadikan Kota Semarang dan kurang lebih 15 kabupaten kota lain di Jawa Tengah mengalami bencana banjir serta longsor dalam kurun waktu hampir bersamaan.

“Di Kota Semarang, terjadi perubahan peruntukan lahan secara signifikan dalam kurun waktu 30 tahun terakhir,” kata Fahmi menambahkan.

Sedangkan wilayah atas yang menjadi zona penyangga telah mengalami perubahan fungsi menjadi kawasan permukiman, pusat pendidikan dan kawasan komersial. Sementara wilayah bawah, terutama pesisir mengalami kerusakan ekosistem akibat alih fungsi kawasan mangrove dan masifnya proyek reklamasi untuk industri dan perumahan mewah.

“Bencana banjir dan rob di Kota Semarang juga turut dikontribusikan oleh percepatan penurunan muka tanah akibat ekstraksi air tanah besar-besaran dan dampak perubahan iklim,” kata Fahmi menjelaskan.

Ia menyebut daya dukung dan daya tamping lingkungan Pulau Jawa mengalami kebangkrutan ekologis.

Sedangkan WALHI DKI Jakarta mencatat banjir di Jakarta terjadi setiap tahun dan situasinya semakin parah. Pada akhir tahun 2022 terjadi banjir parah di wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.

“Masalah utama banjir Jakarta adalah persoalan tata ruang yang masih mengakomodasi pembangunan skala besar di wilayah resapan air,” kata pegiat WALHI Jakarta, Suci F. Tanjung.

Selain itu ada juga faktor salah urus penataan daerah aliran sungai Sungai Ciliwung  yang terbesar Jakarta  dengan proyek betonisasi sampai persoalan privatisasi ruang kosong oleh sejumlah korporasi besar.

Di sisi yang lain, pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Jakarta secara kuantitas juga stagnan pada angka 9 persen. “Akibatnya banjir semakin meluas, menyebabkan korban jiwa, dan meningkatkan kerentanan hidup warga,” ujar Suci menjelaskan.

WALHI Jawa Barat menyoroti persoalan bencana terutama banjir di kawasan cekungan Bandung yang diakibatkan kekacauan penataan ruang demi segelintir orang.

“Persoalan tersebut dipicu alih fungsi kawasan hulu dan lahan pertanian pangan berkelanjutan menjadi peruntukkan lain seperti perumahan mewah,” kata .

Area tangkapan dan resapan air yang hilang menyebabkan peningkatan kerentanan bencana seperti banjir dan tanah longsor. Masifnya alih fungsi lahan di Bandung tak hanya mendorong kejadian bencana, namun juga menurunkan kuantitas dan kualitas sumber air baku warga. WALHI Jawa Barat mencatat ada lebih dari satu juta warga Kota Bandung yang belum terlayani air baku dari pemerintah.

“Situasi akan memburuk dengan semakin berkurangnya sumber air akibat masifnya pembangunan infrastruktur di kawasan penyangga,” kata Haerudin Inas pegiat WALHI Jawa Barat.

WALHI Yogyakarta melihat persoalan salah urus tata ruang tak hanya terjadi di dalam wilayah kota, akan tetapi menyebar ke wilayah pinggiran seperti ambisi membangun perkotaan baru Aeropolis Kulon Progo.

Mega proyek perkotaan baru telah meningkatkan kerentanan kawasan, apalagi proyek tersebut dibangun di wilayah rawan bencana seperti gempa dan tsunami.

Ambisi Aeropolis memicu kemunculan Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener yang merampas ruang hidup warga di wilayah lain seperti Wadas. Proyek tersebut dibangun untuk memenuhi sumber air di Aeropolis NYIA.

“Hal ini kontradiktif dengan situasi krisis air di Kota Yogyakarta yang disebabkan oleh ekstraksi air tanah oleh industri pariwisata terutama perhotelan,” kata Halik Sandera dari WALHI Yogyakarta.

Menurut Halik, di wilayah Gunung Kidul, Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gunung Sewu yang menjadi kawasan lindung air justru akan dikurangi demi kebutuhan pariwisata.

“Parahnya, sumber air terdekat dihilangkan, lalu mencari sumber air di wilayah lain, tetapi caranya eksploitatif sehingga merusaknya,” katanya.

WALHI Jawa Timur mengungkapkan bahwa persoalan salah urus tata ruang di Jawa Timur mengakibatkan kerentanan di wilayah hulu dan hilir. Di wilayah hulu DAS Brantas yakni Kota Batu, penataan ruang benar-benar kacau. Kawasan lindung beralih fungsi menjadi hotel, wisata buatan dan peruntukkan lain.“Pembangunan tersebut menyebabkan banjir, longsor serta menghilangkan sumber mata air,” kata Wahyu Eka dari WALHI Jawa Timur. Ia menilai kerusakan ekosistem tersebut di wilayah hulu mengancam wilayah hilir seperti Malang, Pasuruan hingga Surabaya. Peningkatan kejadian bencana hidrometeorologi dipadu dengan penataan ruang yang kacau, seperti pembangunan di sempadan sungai, alih fungsi kawasan hingga minimnya ruang terbuka hijau, semakin memperentan kondisi Kota Malang.

“Sementara di Surabaya perluasan perumahan mewah ke kawasan pinggir seperti Surabaya Barat dan Timur oleh korporasi besar menyebabkan area resapan air hilang seperti alih fungsi waduk dan mangrove,” kata Eka menjelaskan.

Peningkatan kejadian bencana dan peningkatan kerentanan kota mengakibatkan peningkatan dampak dan perluasan area terdampak bencana.

Pegiat WALHI Nasional, Abdul Ghofar mendorong pemerintah pusat maupun daerah untuk melihat persoalan bencana ekologis di Jawa secara serius dengan evaluasi perencanaan dan penataan tata ruang berwawasan lingkungan dengan memastikan jaminan keselamatan rakyat.

“Pembangunan mega infrastruktur seperti PSN harus ditinjau secara kritis melihat perubahan fungsi kawasan lindung, kawasan rawan bencana hingga situasi sosial masyarakat,” ujar Ghofar.

Menurut Ghofar, pendekatan penanganan bencana dan solusi teknis bencana sangat tidak cukup menyelesaikan persoalan. Perlindungan kawasan penyangga, pemulihan lingkungan yang rusak hingga penghentian aktivitas ekstraktif menjadi salah satu jalan keselamatan dari ancaman bencana ekologis di masa mendatang.sinpo

Komentar: