SETARA: Aksi Demo dengan Agenda Ekstra Konstitusional Harus Dicegah

UU Ciptaker

Oleh: Ria
Selasa, 13 Oktober 2020 | 10:08 WIB
Hendardi, Ketua SETARA Institute
Hendardi, Ketua SETARA Institute

sinpo.id, JAKARTA, Hendardi, Ketua SETARA Institute mengatakan ketertiban sosial harus menjadi prioritas bersama dalam unjuk rasa UU Ciota Kerja (Ciptaker).

"Unjuk rasa sebagai artikulasi kebebasan berpendapat yang dijamin UUD Negara RI 1945, sah dan harus dihormati. Tapi, kebebasan itu harus dijalankan dengan tidak melanggar pembatasan-pembatasan yang sudah ditetapkan. Seperti larangan melakukan pengrusakan, tidak menimbulkan anarki sosial, tidak mengganggu ketertiban umum dan lain sebagainya," tegas Hendardi, Selasa (13/10).

Jika aksi unjuk rasa berpotensi menimbulkan anarki sosial lanjut Hendardi, maka penegak hukum dan aparat keamanan memiliki kewajiban untuk memastikan pencegahan serta penindakan. "Tindakan-tindakan tersebut mesti dilakukan dengan cara-cara yang dibenarkan," katanya.

Menurut Hendardi, aksi dengan kekerasan yang terjadi di beberapa tempat pada 5-8 Oktober 2020 lalu semestinya memberikan pembelajaran bagi semua pihak untuk menahan diri dalam menyampaikan aspirasinya.

"Peristiwa awal Oktober tersebut juga menggambarkan bahwa aksi dalam jumlah massa yang besar hampir pasti mengundang conflict enterpreneur untuk memanfaatkan situasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu," jelasnya.

Sementara penyebaran informasi terkait rencana aksi lanjutan dengan agenda-agenda yang melampaui dari isu UU Cipta Kerja, di tengah masyarakat telah menimbulkan keresahan dan ketakutan. Maka aksi unjuk rasa dengan agenda-agenda ekstra konstitusional harus dicegah dengan tindakan hukum yang akuntabel.

"Percampuran kepentingan dan agenda aksi oleh berbagai komponen masyarakat telah menggambarkan bahwa aksi unjuk rasa yang digelar hari ini memiliki kerentanan lebih luas mengganggu ketertiban sosial," tambah Hendardi.

Karena itu, untuk kembali memusatkan energi penolakan terhadap UU Cipta Kerja, elemen masyarakat dapat menggunakan mekanisme yang tersedia dalam sistem ketatanegaraan kita, yakni menguji pasal-pasal yang kontroversial itu ke meja Mahkamah Konstitusi (MK).

"Termasuk sejumlah catatan formil yang dianggap tidak sesuai dengan prosedur pembentukan UU juga bisa diujikan ke Mahkamah Konstiusi," pungkasnya.sinpo

Komentar: