Pencipta Lagu Keluhkan ke MK soal Pelanggaran Hak Cipta di “Platform Digital”

Laporan: Tim Redaksi
Jumat, 17 November 2023 | 06:52 WIB
Gedung MK (Sinpo.id/National Geographic)
Gedung MK (Sinpo.id/National Geographic)

SinPo.id -  Pencipta lagu populer berjudul “Harta Berharga” yang merupakan lagu tema sinetron Keluarga Cemara, Hari Tjahjono hadir dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Kehadiran Hari sebagai Saksi yang didatangkan oleh para Pemohon, yakni PT Aquarius Pustaka Musik, PT Aquarius Musikindo, serta Melly Goeslaw. Sidang keenam  Perkara Nomor 84/PUU-XXI/2023 ini digelar di Ruang Sidang Pleno MK pada Kamis 16 November 2023. Dalam persidangan tersebut, para Pemohon juga menghadirkan dua orang Saksi lainnya, yakni Yudis Dwikorana yang berprofesi sebagai pencipta lagu dan Ruli Afian Yusuf yang merupakan pemilik label music.

Dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, Hari Tjahjono menceritakan karya yang telah ia hasilkan. Ia berharap sebagai seorang seniman, karya-karya kreatif berupa lagu yang ia ciptakan sewaktu masih muda dan produktif dapat menjadi pensiunnya di hari tua.

“Tapi, kondisi dan situasi sekarang membuat harapan saya menjadi pupus oleh karena munculnya platform atau aplikasi yang memberikan ruang pada siapapun untuk mengupload karyanya di aplikasi tersebut. Karya-karya yang di-upload tersebut, bukan melulu karya asli, melainkan tanpa seizin pencipta, menggunakannya demi kepentingan bisnis dan lain sebagainya,” ceritanya.

Hari juga mengungkapkan platform digital tersebut, berbanding lurus dengan pers cetak yang sama-sama menjadi konsumsi publik.  Menurutnya, sebagaimana adanya mekanisme pers yang memiliki sistem ralat, hak jawab, dan Dewan Pers jika terdapat perkara, maka mekanisme tersebut seharusnya diadopsi pula kepada platform digital.

“Sepanjang pengalaman saya sebagai jurnalis ada satu contoh kasus, yakni ketika Tabloid Monitor mengadakan polling ‘siapa yang paling disukai masyarakat Indonesia?’. Kemudian muncul nama Arswendo Atmowiloto, Pemimpin Redaksi Tabloid Monitor sebagai pemenang paling disukai. Polling tersebut dilakukan oleh bagian iklan dan yang memilih adalah pembaca monitor. Dalam mekanisme pers cetak, ada sistem ralat, hak jawab, kemudian dewan pers dan hukum. Ketika ralat, hak jawab, dan dewan pers tidak bisa menanganina maka perkara dibawa ke sidang pengadilan dan Arswendo dijatuhi hukuman 5 tahun penjara dan Tabloid Monitor diberedel,” terangnya.

Sayangnya, sebut Hari, jika ada konten yang merugikan pihak lain pada platform digital, sanksi yang diberikan hanya menurunkan atau menghapus konten yang merugikan. Sebagai pencipta lagu yang dirugikan justru tidak mendapat solusi lain, walaupun konten tersebut sudah disalin tempel (copy paste) dan diunduh (download) serta diedarkan di medsos. “Tidak ada pertanggungjawaban sama sekali dari pihak platform digital yang pertama kali memberikan ruang untuk mengunggah konten tersebut sebagai konsumsi publik,” ujarnya.

Hari menyebut  kejadian seperti itu sangat merugikan pencipta lagu sebagai korban karena eksploitasi konten-konten yang menjiplak dan menggunakan karya kreatifnya tanpa izin.

“Lagu dan karya kreatif kami barangkali memang sekadar hiburan, akan tetapi bagaimana jika seandainya yang dieksploitasi tanpa izin tersebut adalah lagu-lagu nasional? Apakah sanksinya juga hanya ditakedown atau dihapus, dan perkara dianggap selesai? Bagaimana jika lagu-lagu nasional tersebut digunakan untuk menjual hal-hal yang tidak pantas, atau bahkan mempromosikan ideologi terlarang di Indonesia,” tandasnya.

Hal serupa juga disampaikan oleh pencipta lagu di bawah naungan label Aquarius Musikindo, Yudis Dwikorana yang hadir sebagai Saksi Pemohon. Ia diketahui mencipta beberapa lagu hits seperti lagu yang dilantunkan oleh Agnez Monica berjudul “Tidak Ada Logika” dan lagu “Bebas” yang dinyanyikan oleh Iwa K. Dalam keterangannya, ia menilai keberadaan platform digital tidak peduli terhadap royalti bagi para pencipta lagu seperti dirinya.

“Meski begitu, saya masih bersyukur media sosial seperti YouTube memiliki kerja sama sehingga membayar royalti, sekalipun sangat jauh bila dibandingkan dengan masa-masa dulu penjualan CD atau VCD. Tentunya yang patut saya sayangkan adanya beberapa platform sejenis yang tidak peduli dengan tidak melakukan kerjasama padahal membiarkan penggunanya menggunakan lagu-lagu kami. Contohnya, Likee. Lagu saya (Tak Ada Logika) diunggah dan dijadikan konten dalam aplikasi tersebut tetapi nama saya sebagai pencipta tidak dituliskan, dan oleh Aquarius Pustaka Musik telah diperingatkan tetapi tetap terus berulang,” ungkapnya.

Sedangkan Ruli Afian Yusuf yang merupakan pemilik label musik memberikan keterangan berdasarkan pengalaman terkait dengan hak cipta lagu. Ia menyebut usai lagu diciptakan, maka akan ada produksi hingga pendistribusian karya-karya musisi ke penyedia layanan digital (Digital Service Provider) untuk dapat dinikmati oleh masyarakat.

“Suatu ketika pihak kami mendapatkan salah saat lagu musisi kami yang sedang trend muncul di salah satu platform penyedia layanan digital dengan penyanyi dan pencipta lagu yang sudah diubah, didaftarkan lagi dengan atribut yang baru termasuk publishernya dari luar negeri. Kami meminta kepada pihak publisher untuk men-take down, saat ini lagunya sudah tidak ada lagi di platform tersebut meski prosesnya memakan waktu yang cukup lama,” ujarnya.

Setelah ditelusuri, sambungnya, audio lagu tersebut ternyata diambil dari cover lagu yang ada di platform digital media sosial berbagi tanpa ada izin dari pihaknya sebagai label/pemilik master dan wakil pencipta lagu. Konten video cover tersebut bisa diputar dan dimonetisasi oleh pelaku dan mendapat respons yang cukup baik serta menghasilkan nilai hasil monetisasi yang cukup signifikan.

Sebagai Informasi, PT Aquarius Pustaka Musik, PT Aquarius Musikindo, serta Melly Goeslaw menguji aturan mengenai larangan pengelola tempat perdagangan membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya. Aturan tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 dan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Ketiganya tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 84/PUU-XXI/2023. 

Pemohon mendalilkan berdasarkan dari kasus konkret yang dialami yakni ketika media sosial banyak memuat atau menayangkan atau mengumumkan lagu-lagu atau master yang dimiliki pemohon tanpa izin dari pemohon. Namun dilihat dari UU Hak Cipta belum mengatur khususnya mengenai pertanggungjawaban dari penyedia layanan digital yang khususnya berbasis User Generate Content (UGC).

Para pemohon mengajukan somasi terhadap salah satu penyedia platform terkait dengan banyaknya materi muatan yang melanggar hak cipta atas lagu-lagu atau master dari para pemohon. Akan tetapi, penyedia platform berasumsi atau berdalih adanya ketentuan yang mengatur penyedia platform tidak bertanggung jawab atas konten yang diunggah oleh UGC dan menurunkan apabila ada keberatan dari pemegang Hak Cipta atau pencipta atau pemegang hak terkait. 

Pemohon menilai UU Hak Cipta belum sepenuhnya mengatur tentang hal tersebut. Sehingga Pemohon melihat ada ketentuan Pasal 10 dan 114 UU Hak Cipta sebagai suatu perwujudan dari chief harbour yang memberikan larangan bagi tempat perdagangan untuk membiarkan layanan atau penggandaan pelanggaran Hak Cipta. Namun di dalam Pasal 10 dan Pasal 114 ini memang terkesan masih sempit dan belum mengakomodir fakta atau fenoma yang terjadi saat ini khususnya media sosial yang berbasis UGC. 

Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan materi muatan Pasal 10 dan Pasal 114 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. 
 sinpo

Komentar: