Uji Materi di MK

Guru Ajukan Uji Materi UU Dikti Gegara Terima Gaji Rp 300 Ribu

Laporan: Tim Redaksi
Sabtu, 09 Maret 2024 | 04:53 WIB
Ilustrasi dosen (pixabay)
Ilustrasi dosen (pixabay)

SinPo.id -  Pemohon Perkara Nomor 135/PUU-XXI/2023 mengenai pengujian materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) menghadirkan Saksi bernama Mohammad Saleh. Saleh, seorang dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuanyar, Kabupaten Pemekasan, Jawa Timur, mengaku menerima gaji tetap sebagai dosen hanya Rp 300 ribu.

“Gaji yang saya terima itu, kalau gaji tetap sebagai dosen itu Rp300 ribu,” ujar Saleh dalam sidang dengan agenda mendengar keterangan saksi di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta pada Kamis 7 Maret 2024

Saleh juga menjelaskan, gaji mengajar per tatap muka sebesar Rp50 ribu dengan uang transport hanya Rp15 ribu. Dia hanya mengajar satu kali dalam seminggu untuk semester ini. Menurut dia, besaran gaji yang diterimanya jauh dari Upah Minimum Kabupaten (UMK) Pamekasan pada 2024 yang mencapai Rp2,2 juta per bulan.

Saleh secara sadar mengetahui besaran gaji yang didapatkannya itu saat menyepakati perjanjian kerja dengan pihak kampus. Dia pun mengaku tidak bisa menuntut banyak dengan kampusnya yang baru berusia sembilan tahun dan program studi (prodi) dia mengajar baru menginjak dua tahun. Terlebih lagi kampusnya hanya menghasilkan pendapatan dari Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) mahasiswa.

Dia menyebut, SPP Prodi Pendidikan Sastra Arab hanya Rp300 ribu per satu semester. Jika dikalikan setiap mahasiswa bisa lulus kuliah delapan semester, maka mahasiswa membayar SPP selama kuliah sebesar Rp2,4 juta, ditambah uang pembangunan Rp500 ribu dan uang pendaftaran Rp100 ribu. Dengan demikian kampus menerima biaya Rp 3 juta dari setiap mahasiswa sampai lulus.

“Jadi total dari masa kuliah, masuk sampai lulus itu Rp 3 juta. Bagaimana kemudian mau menuntut,” kata Saleh.

Dia menegaskan tidak ada uang lagi dari kampus yang dibayarkan kepadanya selain Rp 300 ribu. “Tidak ada untuk uang. Jadi, mungkin kalau di akhir Ramadhan, tapi biasanya sembako, seperti itu,” ucap Saleh. Untuk mencukupi kebutuhannya, dia mencari tambahan penghasilan dari berjualan dengan dibantu sang istri.

Sebagai informasi, Saleh menjadi saksi untuk perkara yang menguji norma Pasal 70 ayat (3) UU Dikti yang berkaitan dengan kewajiban badan penyelenggara memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada dosen dan tenaga pendidikan. Namun, Pemohon menyebut pembebanan kewajiban pemberian gaji pokok dosen perguruan tinggi swasta (PTS) hanya kepada badan penyelenggara jelas berdampak pada timbulnya ketidaksetaraan/kesenjangan/ketimpangan gaji pokok dosen PTS.

Ketidaksetaraan/kesenjangan/ketimpangan itu tidak hanya terjadi antara gaji pokok dosen PTS dengan dosen perguruan tinggi negeri (PTN). Akan tetapi, juga terjadi antara sesama dosen PTS. PTS yang berada di bawah naungan badan penyelenggara dengan kemampuan sumber daya keuangan yang tinggi dan berkedudukan di daerah dengan ketentuan upah minimum yang tinggi, tentu akan memberikan gaji pokok yang tinggi pula kepada para dosennya.

Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 70 ayat (3) UU Dikti sepanjang frasa “Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikut sepanjang tidak dimaknai “Badan penyelenggara sebagaimana dimaksud ayat (2) wajib memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada dosen dan tenaga kependidikan yang dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan.atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”. sinpo

Komentar: