Pimpinan KPK Desak Pemerintah Daerah Kuatkan APIP

Oleh: Agam
Jumat, 21 Mei 2021 | 23:39 WIB
Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango saat menjadi narasumber dalam Rapat Koordinasi Pengawasan Intern (Rakorwasin) Keuangan dan Pembangunan Tingkat Provinsi Sulawesi Tengah, di Kota Palu, Kamis, (20/5)./Dok: Humas KPK/
Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango saat menjadi narasumber dalam Rapat Koordinasi Pengawasan Intern (Rakorwasin) Keuangan dan Pembangunan Tingkat Provinsi Sulawesi Tengah, di Kota Palu, Kamis, (20/5)./Dok: Humas KPK/

SinPo.id - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nawawi Pomolango meminta, Pemerintah Daerah (Pemda) memperkuat Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Hal ini disampaikannya saat hadir sebagai narasumber dalam Rapat Koordinasi Pengawasan Intern (Rakorwasin) Keuangan dan Pembangunan Tingkat Provinsi Sulawesi Tengah, di Kota Palu, Kamis, 20 Mei 2021. 

"Salah satu area intervensi yang penting diperhatikan oleh pemerintah daerah di Sulawesi Tengah adalah penguatan APIP, bekerja sama dengan BPKP," tutur Nawawi.  

Skor rata-rata area Penguatan APIP di seluruh pemerintah kabupaten, kota, dan Provinsi Sulawesi Tengah, dalam aplikasi MCP (Monitoring Centre for Prevention) KPK pada tahun 2020 berkisar antara 50 sampai 75 persen. Skor ini masih relatif rendah dibandingkan target minimal yang diharapkan KPK, yaitu 85 persen. 

Nawawi menyebutkan, ada beberapa kondisi mengapa APIP harus diperkuat, yaitu minimnya jumlah personil, kurangnya kompetensi, terbatasnya kesempatan pelatihan, rendahnya anggaran operasional, tidak ditindak-lanjutinya rekomendasi APIP, adanya intervensi kepala daerah kepada APIP, independensi APIP yang belum kuat, dan tak optimalnya pembinaan APIP.

Pemberdayaan dan penguatan APIP, lanjut Nawawi, makin urgen ketika kepala daerah berpotensi besar melakukan tindak pidana korupsi karena keharusan membiayai hutang politik saat ikut Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Sebab itu, kata Nawawi, kepala daerah memiliki kepentingan mengintervensi APIP untuk melindungi modus kecurangannya. 

"Berdasarkan studi KPK, para calon kepala daerah yang ikut Pilkada mengakui didukung oleh modal dari pihak ketiga. Ini berimbas kepada perjanjian calon kepala daerah dengan pemodal untuk dimudahkan dalam perizinan atau PBJ (Pengadaan Barang dan Jasa)," ujar Nawawi.

Sejumlah modus korupsi Kepala Daerah, sambung Nawawi, adalah melakukan intervensi dalam penggunaan anggaran belanja daerah; campur-tangan dalam pengelolaan penerimaan daerah; ikut menentukan dalam pelaksanaan perizinan dengan pemerasan; benturan kepentingan dalam proses PBJ dan manajemen ASN seperti rotasi, mutasi, pengangkatan pegawai; dan penyalahgunaan wewenang terkait pengangkatan dan penempatan jabatan pada orang dekat, pemerasan dalam proses rotasi, mutasi, dan promosi. 

Sesuai data KPK antara 2017 dan 2020, terdapat total 175 laporan pengaduan masyarakat dari wilayah Provinsi Sulawesi Tengah kepada KPK. Berdasarkan delik aduan, laporan tersebut terdiri atas penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara (110 laporan), pemerasan (5 laporan), penyuapan (5 laporan), perbuatan curang (3 laporan), penggelapan dalam jabatan (1 laporan), benturan kepentingan dalam pengadaan (2 laporan), tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi (3 laporan), dan laporan lain yang berkategori non-TPK (Tindak Pidana Korupsi) sebanyak 46 laporan. 

Sementara itu, saat membuka kegiatan, Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola meminta APIP Sulawesi Tengah berperan besar menghadirkan pengelolaan pemerintahan daerah yang efektif dan efisien, serta meminimalisir timbulnya kecurangan.

"Kami mengharapkan seluruh APIP di Sulawesi Tengah memberi rekomendasi kepada aparat pemerintah, sehingga program kegiatan pemerintah daerah di seluruh Sulawesi Tengah dapat efektif dan efisien. Terpenting, rapat koordinasi ini dapat menyatukan langkah dan sinergis, sehingga program pembangunan daerah dapat efektif dan mengurangi kecurangan, dan memberikan manfaat bagi penduduk," pintanya.

Sementara itu, Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi, Agustina Arumsari mengemukakan, secara lugas bahwa sasaran pembangunan daerah belum terwujud. Ada tiga indikator, kata Agustina, kenapa belum tercapai. Satu, program, kegiatan, dan sub-kegiatan, belum mampu mengungkit pencapaian tujuan dan sasaran strategis. Dua, keselarasan pembangunan nasional dan daerah belum optimal. Tiga, adanya isu integritas. 

Penyebabnya, ungkap Agustina, adalah kualitas perencanaan belum optimal, di mana disain program atau kegiatan tak dirancang baik karena sasaran tidak didefinisikan dengan jelas, indikator kinerja belum dapat digunakan mendukung keberhasilan pelaksanaan program atau kegiatan, fokus kegiatan pengawasan intern belum berdasarkan isu strategis pemerintah daerah dan risiko yang dihadapi, dan orkestrasi pelaksanaan pengawasan intern belum berjalan optimal.

Di samping itu, lanjut Agustina, penyebab lainnya adalah penyelesaian target kinerja pemerintah daerah lewat kerja sama atau kolaborasi seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD), atau lazim disebut cross-cutting program, belum dirancang dengan baik, serta pengawalan APIP dalam pengawasan intern pemerintah daerah belum optimal. 

Menutup paparan, Nawawi Pomolango menyebutkan empat rekomendasi kepada pemerintah daerah. Pertama, berkoordinasi dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan BPKP Perwakilan di daerah yang diberi mandat untuk melakukan pengawasan dan pendampingan terkait PBJ dan penguatan APIP.

Kedua, secara optimal memperdayakan dan mendukung APIP untuk melakukan pengawasan dalam program percepatan penanganan Covid-19, sehingga refokusing atau realokasi anggaran APBD tidak berdampak pada fungsi APIP.

Ketiga, seluruh jajaran pemerintahan daerah menghindari transaksi penyuapan, pemerasan, gratifikasi, dan potensi benturan kepentingan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

“Keempat, mendukung tindak lanjut poin-poin rencana aksi dalam aplikasi Monitoring Centre of Prevention (MCP) tahun 2021 sebagai bentuk komitmen kepala daerah,” pungkas Nawawi.sinpo

TAG:
KPK
Komentar: