Ulama Ormas Indonesia Sepakat Melarang Pernikahan Beda Agama

Oleh: Ardi
Selasa, 27 September 2022 | 05:22 WIB
Sembilan Hakim Mahkmah Konstitusi (MK) bersama Presiden Jokowi berfoto di Gedung MK. Foto: Istimewa
Sembilan Hakim Mahkmah Konstitusi (MK) bersama Presiden Jokowi berfoto di Gedung MK. Foto: Istimewa

SinPo.id -  Majelis Ulama Indonesia (MUI) selaku Pihak Terkait menghadirkan dua orang Ahli dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Senin 26 September 2022. Sidang permohonan perkara Nomor 24/PUU-XX/2022  ini diajukan oleh E. Ramos Petege yang merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam.

Dua ahli yang dihadirkan MUI untuk memberikan keterangan dalam persidangan yaitu M. Cholil Nafis dan Hafid Abbas. M. Cholil Nafis yang merupakan Dosen Hukum Islam PSKTTI Universitas Indonesia dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyebutkan ketentuan undang-undang perkawinan menyebutkan sahnya perkawinan apabila sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Sehingga dapat dikatakan  pernikahan beda agama tidak sesuai ajaran agama Islam dan hal demikian dilarang.

Hal senada juga dimuat pada Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Pada Pasal 44 KHI terdapat larangan menikah beda agama. Sementara itu dari MUI melalui Keputusan Nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 mengeluarkan fatwa tentang hukum larangan pernikahan beda agama. Yakni, perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah; dan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlu kitab menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah. Sedangkan Nahdlatul Ulama (NU) dalam fatwa yang ditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989, NU menegaskan nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah. Selanjutnya organisasi Muhammadiyah dalam keputusan Muktamar Tarjih ke-22 Tahun 1989 di Malang Jawa Timur telah mengatakan tidak boleh menikahi wanita non-muslimah atau ahlul kitab.

“Maka berdasarkan rujukan tafsir, fikih, peraturan perundang-undangan, dan sosial keagamaan, dapat disimpulkan  pernikahan beda agama antara pasangan laki-laki muslim maupun perempuan muslimah dengan orang musyrik atau musyrikah hukumnya tidak sah dan haram. Dan keputusan ulama Indonesia yang tergabung di organisasi MUI, NU, dan Muhammadiyah sepakat melarang pernikahan beda agama secara mutlak, baik laki-laki muslim maupun perempuan Muslimah.” jelas Cholil, seperti dilansir laman MKRI pada Senin 26 September 2022.

Hafid Abbas yang merupakan Guru Besar Pendidikan HAM dari FIP Universitas Negeri Jakarta memberikan keterangan bahwa khusus untuk hak atas perkawinan, Pasal 28B UUD 1945 pada intinya menyebutkan (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Undang-undang ini, kata Hafid, memperlihatkan tidak ada tempat untuk kawin dengan sesama jenis karena tidak dimungkinkan adanya kelanjutan keturunan dan tidak ada tempat hubungan bebas karena anak keturunan itu lahir melalui perkawinan yang sah.

Selanjutnya pada pada Pasal 28J UUD 1945 dikemukakan pula (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Dari ketentuan ini yang mendalilkan atas hak asasi manusia bermaksud memberi kebebasan kepada siapa saja menjalankan haknya apabila sesuai dengan undang-undang, pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum, dan lainnya. Dengan demikian, negara harus hadir untuk memberi perlindungan kepada umat Islam untuk memajukan, menegakkan, melindungi dan memenuhi haknya untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

“Sesuai dengan ketentuan hak atas perkawinan yang digariskan pada Pasal 28B UUD 1945, yang dipertegas lagi pada Pasal 10 UU Nomor 39 tahun 1999 Tentang HAM, kehadiran negara untuk memajukan dan melindungi HAM bagi setiap warga negara sebagaimana diamanatkan pada Pasal 28J UUD 1945 harus hadir untuk memberi perlindungan kepada umat Islam untuk memajukan, menegakkan, melindungi dan memenuhi haknya untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah,” jelas Hafid.

Sebelum mengakhiri persidangan, Ketua MK Anwar Usman menyebutkan sidang berikutnya akan dilaksanakan pada Rabu, 19 Oktober 2022. Agenda sidang yakni mendengarkan keterangan dari 1 Ahli dari MUI dan 2 Saksi dari Dewan Dakwah Islamiyah.sinpo

Komentar: