Gagal Ginjal Akut Anak, Komunitas Pasien Cuci Darah Pertanyakan Tangung Jawab BPOM

Laporan: Sinpo
Selasa, 25 Oktober 2022 | 18:37 WIB
Ilustrasi (SinPo.id/Pixabay.com)
Ilustrasi (SinPo.id/Pixabay.com)

SinPo.id -  Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) mempertanyakan tangung jawab badan pengawas obat dan makanan atau BPOM, terkait kasus misterius gagal ginjal pada anak-anak. Jika benar kasus itu akibat kandungan zat yang berada di dalam obat-obatan, maka BPOM sebagai pemangku kepentingan harus bertanggung jawab.

“Bahwa BPOM tugasnya pengawasan pre-market dan post-market. Mereka juga menjadi pihak yang melakukan uji laboratorium guna mengetahui apakah obat sirup ini telah memenuhi syarat keamanan,” kata Ketua Umum KPCDI, Tony Richard Samosir, dalam pernyataan resmi, Selasa  25 Oktober 2022.

Tony mempertanyakan bagaimana mekanisme kerja BPOM dalam memeriksa kandungan, komposisi, dan izin edar dari obat dan makanan yang dikonsumsi masyarakat. Bahayanya, bagi Tony jika pemeriksaan ini dilakukan tidak rutin sehingga hal ini dapat terjadidan tidak menutup kemungkinan terjadi obat dan makanan jenis lainnya.

“Tentu jangan sampai sudah kecolongan seperti ini kita panik seluruhnya, dievaluasi, dan ditarik kembali setelah jatuhnya korban,” ujar Tony menambahkan.

Ia juga menyebut negara gagal menangani kasus misterius gagal ginjal yang diduga karena adanya zat ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE) di dalam obat sirup cair yang selama ini beredar luas di masyarakat.

“Saat ini sebanyak 141 anak-anak tidak dapat tertolong. Hal ini menggambarkan bahwa fatality rate kasus ini sangat tinggi atau di atas 50 persen dari jumlah yang dilaporkan sejauh ini yakni 245 kasus di seluruh Indonesia,” katanya.

Sekretaris Jenderal KPCDI Petrus Haryanto menilai kejadian gagal ginjal akut pada anak fenomena gunung es yang selama ini dialami oleh pasien anak di Indonesia. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan sebagai penanggung jawab kesehatan masyarakat harus meningkatkan kinerjanya agar kejadian ini tidak banyak memakan korban.

“Kejadian ini sekaligus membuka tabir bahwa pemerintah selama ini melupakan sistem kesehatan ginjal tidak hanya bagi orang dewasa namun juga pada anak,” kata Petrus.

Saat ini, fasilitas kesehatan ginjal di Indonesia cenderung sangat minim dan tidak merata. Mulai dari fasilitas kesehatan, mesin dialisis, hingga tenaga Kesehatan perawat serta dokter ginjal dewasa dan anak hanya terpusat di Jawa dan Bali.

Sedangkan jika seorang anak terdiagnosis gagal ginjal akut, maka ada dua metode terapi yang bisa digunakan.

“Yaitu terapi konservatif dengan konsumsi obat-obatan dan dengan terapi cuci darah atau dialisis. Sayangnya, pada poin kedua fasilitas kesehatan itu belum merata dengan baik di Indonesia,” kata Petrus menjelaskan.

Data KPCDI mencatat, sebelum kejadian meraknya gagal ginjal akut saat ini, dalam beberapa kasus pun para orang tua harus menempuh jarak ratusan ribu kilometer dari daerah asal ke Jakarta karena anaknya harus mendapatkan rujukan demi mengobati penyakitnya.

Ironisnya, di Jakarta baru ada dua fasilitas kesehatan yakni RS Cipto Mangungkusumo dan RS Harapan Kita yang memiliki fasilitas kesehatan gagal ginjal pada anak.

Hal itu menjadi alasan KPCDI mendesak pemerintah agar segera membangun fasilitas kesehatan ginjal pada anak.sinpo

Komentar: