Resah Kebijakan Cukai Tembakau

Laporan: Tim Redaksi
Sabtu, 12 November 2022 | 10:16 WIB
Ilustrasi (SinPo.id/Wawan Wiguna)
Ilustrasi (SinPo.id/Wawan Wiguna)

SinPo.id -  Kebijakan Pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 10 persen pada tahun 2023 dan 2024 menuai resah. Meski Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kenaikan tarif CHT pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek pangan (SKP) akan berbeda.

“Rata-rata 10 persen, nanti akan ditunjukkan dengan SKM I dan II yang nanti rata-rata meningkat antara 11,5 hingga 11,75 (persen), SPM I dan SPM II naik di 12 hingga 11 persen, sedangkan SKP I, II, dan III naik 5 persen,” ujar Sri Mulyani, usai rapat dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, sekitar awal bulan November 2022 lalu.

Sri mengatakan, Presiden Jokowi meminta agar kenaikan tarif tidak hanya berlaku pada CHT, tetapi juga rokok elektrik dan produk hasil pengolahan hasil tembakau lainnya (HPTL). Untuk rokok elektrik, kenaikan tarif cukai akan terus berlangsung setiap tahun selama lima tahun ke depan.

“Hari ini juga diputuskan untuk meningkatkan cukai dari rokok elektronik yaitu rata-rata 15 persen untuk rokok elektrik dan 6 persen untuk HTPL. Ini berlaku, setiap tahun naik 15 persen, selama 5 tahun ke depan,” kata Sri Mulyani menjelaskan.

Ia menyebut pemerintah menyusun instrumen cukai dengan mempertimbangkan sejumlah aspek mulai dari tenaga kerja pertanian hingga industri rokok. Selain itu memperhatikan target penurunan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.

Pertimbangan lain, mengenai rokok yang berpengaruh pada konsumsi rumah tangga terbesar kedua setelah beras. Bahkan, konsumsi tersebut melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam.

“Yang kedua mengingat bahwa konsumsi rokok merupakan konsumsi kedua terbesar dari rumah tangga miskin yaitu mencapai 12,21 persen untuk masyarakat miskin perkotaan dan 11,63 persen untuk masyarakat pedesaan,” kata Sri Mulyani menjelaskan.

Kebijakan itu meresahkan sejumlah lembaga yang terkait langsung dengan produk tembakau. Di antaranya Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya, yang menyebut kenaikan cukai itu mengancam industri tutup hingga pemutusan hubungan kerja atau PHK Massal

“Kenaikan pajak cukai kalau terlalu tinggi itu, dampaknya akan luar biasa. Terutama terhadap keberlangsungan industrinya itu sendiri dan juga tenaga kerjanya,” kata ketua Gapero) Surabaya, Sulami Bahar.

Sulami mengatakan selama ini perusahaan berusaha semaksimal mungkin mengatur jam kerja karena produk menurun. “Tapi, kalau sudah tidak bisa ya ujung-ujungnya pasti ke rasionalisasi (PHK) mau tidak mau,” kata Sulami menambahkan.

Ia menyayangkan kebijakan pemerintah yang hendak menaikan tarif cukai rokok tersebut. Apa lagi saat ini masyarakat masih dalam kondisi sulit karena dampak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang menimbulkan perekonomian tidak menentu, dan daya beli masyarakat turun. Sulami juga khawatir kenaikan tarif cukai rokok ini akan menimbulkan maraknya peredaran rokok ilegal.

“Kalau harga rokok mahal, konsumen bisa mencari rokok yang lebih murah. Misalnya dari golongan satu, turun ke harga golongan dua, kalau tidak bisa turun lagi ke golongan tiga, kalau masih tidak bisa lagi, bisa beralih ke rokok ilegal,” kata Sulami menjelaskan.

Ia mengingatkan agar pemerintah melihat secara utuh dampak yang ditimbulkan sebelum memutuskan untuk menaikkan cukai rokok. 

Resah kenaikan cukai tembakau yang berlaku tahun 2023-2024 juga dirasakan Lembaga Konsumen Rokok Indonesia  atau LKRI. Organisasi yang mewadahi para perokok itu mengaku menjadi pihak yang paling dibebani oleh kebijakan kenaikan cukai yang ditetapkan pemerintah.

“Kami sebagai konsumen menjadi pihak yang paling dibebankan dengan kenaikan tersebut,” ujar Sekjen Lembaga Konsumen Rokok Indonesia,Tony Priliono.

Menurut Tony, LKRI mewakili puluhan juta perokok di Indonesia selama ini punya kontribusi besar bagi penerimaan negara melalui pembayaran cukai. “Namun terus mengalami diskriminasi padahal rokok merupakan produk legal yang dilindungi Undang-Undang,” kata Tony menambahkan.

Tony menyebut kenaikan cukai secara otomatis membuat harga rokok kian mahal. Hal itu membuat perokok mencari alternatif rokok yang lebih murah, termasuk kemungkinan beralih ke rokok illegal. “Sehingga justru menimbulkan pemasukan negara semakin berkurang,” kata Tony menjelaskan.

Padahal, kata Tony, rokok legal produksi pabrik resmi dalam negeri menyerap 6 juta lapangan pekerja dari hulu ke hilir, selain itu mampu menyumbang pada penerimaan negara hingga Rp188 triliun pada tahun 2021.

 

Kenaikan Cukai dan Kecenderungan Peredaran Rokok Ilegal

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan, semakin tinggi kenaikan tarif cukai rokok akan semakin tinggi peredaran rokok ilegal.

"Jadi, peredaran rokok ilegal itu sangat tergantung dengan besaran kenaikan tarif cukai rokok. Kalau kenaikan cukai masih normal-normal saja, otomatis peredaran rokok ilegal ya hanya segitu-segitu saja," kata Tauhid.

Ia menyarankan pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan tembakau sebagai sektor yang memiliki kontribusi besar terhadap penerimaan negara dari sisi cukai rokok. Pertama, regulasi yang berpihak kepada industri termasuk didalamnya terkait penerapan tarif cukai rokok.

Kedua, kebijakan penindakan rokok ilegal. Menurutnya, semakin massif penindakan rokok ilegal maka akan semakin menyehatkan bagi industri hasil tembakau.

"Artinya, market semakin besar, produsen tidak takut lagi untuk produksi. Namun jika penindakan rendah maka otomatis peredaran rokok ilegal tinggi, dengan begitu pasar untuk rokok legal akan semakin berkurang," ujar Tauhid menambahkan.

Ketiga, berkaitan dengan aturan mengenai promosi yang diatur dalam peraturan pemerintah nomor 109 Tahun 2012 yang dinilai sudah sangat mendukung keberlangsungan sektor IHT, walaupun dalam prakteknya masih banyak kekurangan.

Sedangkan keempat, pengaturan ekspor impor terkait bahan baku. Serta kebijakan mencegah agar kebijakan yang mendukung prevelensi anak.  "Ini juga penting untuk mendukung industri. Kita juga tidak ingin industri ini terus menerus dituduh meracuni masa depan anak," katanya.

Ia mengatakan kenaikan tarif cukai rokok tidak terlalu tinggi menjadi salah satu solusi pencegahan peredaran rokok ilegal yang semakin masif.

Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan membenarkan analisasa INDEF. Menurut Hanry, kenaikan CHT tak hanya semakin memberatkan pelaku usaha industri hasil tembakau (IHT) legal, namun juga mempengaruhi perokok mengkonsumsi hasil industri illegal.

“Pasalnya kenaikan tarif menjadi insentif bagi peredaran rokok ilegal yang saat ini menjadi ancaman mematikan pabrikan rokok kretek legal,” kata Henry.

Ia menyebut kenaikan tarif CHT yang eksesif dalam tiga tahun terakhir berdampak pasar rokok legal tergerus oleh rokok illegal. “Malah masih ditambah kenaikan kembali sebesar 10 persen di tahun 2023 dan 2024," kata Henry menegaskan.

Menurut dia, cukai kepada IHT dalam tiga tahun terakhir terus naik eksesif. Masing-masing tahun 2020 tarif cukai naik sebesar 23,5 persen dan Harga Jual Eceran (HJE) naik 35 persen. Sedangkan tahun 2021 tarif cukai dan HJE naik sebesar 12,5 persen, dan tahun 2022 cukai dan HJE naik sebesar 12,0 persen, sehingga selama tiga tahun tarif CHT telah naik 48 persen dan HJE naik 60 persen.

Henry meyakini kenaikan tarif cukai hanya menguntungkan rokok ilegal. Perbedaan harga rokok legal dengan ilegal semakin lebar. Jauhnya jarak harga rokok legal dengan ilegal, membuat rokok bodong pun makin marak.

Ia merujuk hasil kajian lembaga survei Indodata yang menyebutkan pada tahun 2021 lalu, rokok ilegal telah mencapai 26,38 persen. Jika angka tersebut dikonversikan dengan pendapatan negara, maka potensi cukai yang hilang bisa mencapai Rp53,18 triliun.

Dengan kenaikan kembali tarif cukai, GAPRI berkeyakinan rokok ilegal akan semakin marak dan potential lost negara juga semakin besar. “Dan lebih tragis,  sumber nafkah pekerja akan hilang dalam ancaman masa resesi global," katanya.

 

Dalih Indonesia Sehat Hingga Pembatasan Konsumsi Produk Berdampak

Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai Kementerian Keuangan, Hatta Wardhana, kenaikan cukai temabakau 20 persen ditujukan untuk pengendalian konsumsi, pengawasan peredaran, sekaligus menekan efek negatif di masyarakat atau lingkungan.

"Pemanfaatan penerimaan cukai hasil tembakau salah satunya dituangkan dalam dana bagi hasil (DBH) cukai hasil tembakau (CHT) kepada provinsi penghasil cukai atau tembakau," kata Hatta.

Selain itu, alokasi DBH CHT juga dibagi menjadi tiga aspek utama, masing-masing dengan persentase 50 persen untuk bidang kesejahteraan, 10 persen untuk bidang penegakan hukum, dan 40 persen untuk bidang kesehatan.

"Bidang kesejahteraan meliputi tiga hal, yaitu program peningkatan kualitas bahan baku, penerapan inovasi teknis, serta dukungan sarana dan prasarana usaha tani tembakau," kata Hatta menjelaskan.

Kemudian di bidang penegakan hukum meliputi dua hal yaitu, program pembinaan industri, dan sosialisasi ketentuan di bidang cukai.

Sementara di bidang kesehatan, diprioritaskan untuk mendukung program jaminan kesehatan nasional, terutama peningkatan kuantitas dan kualitas layanan kesehatan dan pemulihan perekonomian di daerah.

“Pemanfaatan DBH CHT di bidang kesejahteraan masyarakat dan kesehatan memiliki porsi yang besar, diharapkan alokasi dana ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya secara tertib, terbuka, dan akuntabel," kata Hatta menjelaskan.

Namun Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan punya pendpat lain. Menurut Henry, alasan kenaikan tarif cukai yang salah satunya karena angka prevalensi perokok anak usia 10 hingga 18 tahun yang berada di angka 9,1 persen pada tahun 2018 seharusnya gugur karena Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis bahwa sejak tahun 2019, prevalensi merokok anak terus menurun 3,87 persen, serta menjadi 3,81 persen pada 2020 dan turun menjadi  3,15 persen di tahun 2021.

"Seharusnya, dengan turunnya prevalensi merokok anak, tak membuat tarif cukai rokok terus dinaikkan apalagi dalam situasi seperti ini," ujar Henry Najoan.

Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menyarankan agar pemerintah segera menambah alternatif barang kena cukai, sebagai upaya mendorong peningkatan penerimaan negara daripada  kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) yang dinilai mencapai titik optimum dalam mendorong penerimaan.

"Pemerintah perlu segera menambah alternatif barang kena cukai sebagai upaya mendorong peningkatan penerimaan negara, karena kenaikan tarif CHT telah mencapai titik optimum dalam mendorong penerimaan," ujar Misbakhun.

Ia mengkritisi kebijakan fiskal Kementerian Keuangan tentang isu kesehatan dan dana bagi hasil (DBH) sebagai alasan pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024.

Menurut Misbakhun, menaikkan tarif cukai hasil tembakau tak sesuai dengan indikator capaian kesehatan dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2023 yang disusun Kemenkeu sendiri.

Dalam tabel itu justru menunjukkan persentase penduduk usia 10 hingga 18 tahun yang merokok pada 2013 masih di angka 7,2 persen. Namun, angka itu turun menjadi 3,8 persen pada 2020.

"Data ini yang menyusun juga BKF. Di situ jelas disebutkan persentase penduduk usia 10-18 tahun yang merokok sudah turun," kata Misbakhun menjelaskan.

Tabel yang sama juga menunjukkan kenaikan prevalensi diabetes melitus pada penduduk. Pada 2013, prevalensi penduduk dengan diabetes di angka 6,9 persen, tetapi pada 2018 meningkat ke menjadi 8,5 persen.

Selain itu, persentase penduduk berusia 10-18 tahun yang mengalami obesitas juga melonjak, dari 14,8 persen pada 2013, menjadi 21,8 persen pada 2018. Argumen itu diperkuat data dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional KOR (Susenas) 2020 dari BPS menunjukkan prevalensi perokok pemula turun drastis. Dengan prevalensi perokok anak juga mengalami penurunan dari 9,1 persen pada 2018, menjadi 3,81 persen pada  tahun 2021.

“Argumen BKF tentang kenaikan CHT untuk menurunkan prevalensi anak dan remaja yang merokok sudah tidak relevan,” katanya. (*)sinpo

Komentar: