Putusan PN Jakpus Tunda Pemilu 2024 Dinilai Nodai Konstitusi

Laporan: Martahan Sohuturon
Jumat, 03 Maret 2023 | 12:15 WIB
Ketua bidang Hubungan Legislatif DPP Partai NasDem Atang Irawan/Dok. Pribadi
Ketua bidang Hubungan Legislatif DPP Partai NasDem Atang Irawan/Dok. Pribadi

SinPo.id - Ketua bidang Hubungan Legislatif DPP Partai NasDem Atang Irawan mengatakan bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda tahapan Pemilu 2024 ke 2025 merupakan sebuah penodaan terhadap konstitusi.

Pasalnya, menurutnya, PN Jakpus dalam putusannya menyatakan menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024.

"Padahal, amanat konstitusi jelas menyatakan pemilu dilaksanakan lima tahun sekali," kata Atang dalam keterangan tertulisnya pada Jumat, 3 Maret 2023.

Ia memandang putusan PN Jakpus itu merupakan turbulensi yustisi yang mencoreng wajah peradilan. Atang pun menyatakan bahwa putusan PN Jakpus tersebut mencurigakan.

Ia membeberkan, kecurigaan pertama, skema kontestasi politik menyatakan bahwa sengketa sebelum pencoblosan yang berdimensi administratif menjadi domain Bawaslu dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Atas dasar itu, dia bilang, PN Jakpus seharusnya menolak gugatan yang dilayangkan Partai Prima.

"Seharusnya, PN Jakpus menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard), tetapi justru diterima," katanya.

Ia melanjutkan, kecurigaan publik semakin menguat karena gugatan perdata tersebut menggunakan dasar perbuatan melawan hukum atau PMH.

Padahal, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 menyatakan bahwa PMH oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan dan keputusan KPU selain penetapan perolehan suara merupakan perbuatan pemerintahan yang menjadi domain peradilan Tata Usaha Negara (TUN).

Dalam hal ini, menurut Atang, semakin kentara bahwa hakim melakukan ultra petita dengan melompat dari poin permohonan.

"Kasus ini adalah penyelesaian perdata yang putusannya seharusnya terkait dengan perbuatan KPU terhadap Penggugat dalam tahapan pemilu yang dimohonkan. Namun justru putusannya berakibat pada seluruh tahapan pemilu," ucap dia.

"Ironis memang jika kita memandang bahwa hakim dianggap tidak atau bahkan belum tahu regulasi tentang kontestasi politik, maka semakin menunjukan peradilan kita menuju kearah kesesatan berpikir, karena hakim harus dianggap memahami hukum sebagai bagian dari prinsip Ius curia novit," sambungnya.

Jika memperhatikan kompetensi absolut peradilan, dia menyatakan, maka jelas PN Jakpus mencoba merobek peraturan perundang-undangan hingga konstitusi yang secara absolut dan imperatif tidak mungkin ditafsir.

"Ini sangat berbahaya dan gejala turbulensi yustisial jika dibiarkan secara liar dalam penegakan hukum dan keadilan," katanya.

Berkaca dari hal tersebut, Atang menganggap putusan PN Jakpus adalah preseden yang tidak baik dan menabrak konstitusi. Ia meminta,  Badan Pengawas Mahkamah Agung melakukan pemeriksaan terhadap orkestrasi yustisial hakim di PN Jakpus yang telah menimbulkan turbulensi penerapan hukum.

"Apalagi persoalan ini terkait dengan kompetensi absolut dan penyimpangan norma yang sudah jelas dan tegas serta imperatif diatur dalam UU dan Konstitusi," ucapnya.

Atang juga berharap proses banding yang akan dilaksanakan oleh KPU harus dikawal oleh seluruh elemen bangsa, agar tidak terjadi orkestrasi yustisial yang dapat menjadi preseden buruk bagi demokrasi dan penodaan terhadap kedaulatan rakyat. Maka sebaiknya perlu menjadi perhatian Badan Pengawasan Mahkamah Agung termasuk Komisi Yudisial.

Terakhir, Atang berharap semoga serangkaian orkestrasi ini tidak seperti yang dikhawatiran banyak kalangan bahwa proses kontestasi politik menuju 2024 terkesan atmosfir politik dan hukum dijadikan sebagai komoditas dalam rangka menunda pemilu, sejak dari upaya amandemen, dektrit, bahkan referendum, perubahan sistem pemilu bahkan putusan PN Jakpus.sinpo

Komentar: