Guru Besar Hukum UI Ingatkan Batasan Hak Angket: Tak Melebar ke Isu Liar

Laporan: Martahan Sohuturon
Sabtu, 24 Februari 2024 | 17:41 WIB
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie. (SinPo.id/Dok. DKPP)
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie. (SinPo.id/Dok. DKPP)

SinPo.id - Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie, mengingkatan batasan-batasan kewenangan dalam pelaksanaan hak angket oleh DPR RI. Menurutnya, keputusan dalam pelaksanaan hak angket tidak boleh melebar ke isu-isu yang bersifat liar.

“Para anggota DPR sebagai peserta pemilu harus memahami batas-batas kewenangannya terkait dengan pelaksanaan hak angket dengan mempertimbangkan sungguhnya tentang maksud dan tujuan serta substansi isu yang hendak diputuskan, tidak melebar kepada isu-isu liar,” kata Jimly dalam keterangannya pada Sabtu, 24 Februari 2024.

Ia menerangkan, isu-isu liar yang dimaksud antara lain seperti pemakzulan presiden, pembatalan hasil pemilu, dan lain-lain yang dapat dinilai memenuhi unsur sebagai tindakan makar yang diatur dalam KUHP.

Kemudian, aspek lain yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan hak angket adalah aspek ‘timing’ dan jadwal waktu yang tersedia, sehingga pelantikan anggota DPR, DPD, DPRD, dan Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang telah ditentukan tidak terganggung untuk menjamin jangan sampai terjadi kevakuman kekuasaan menurut UUD 1945.

Jimly berkata, lembaga-lembaga yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP harus menyadari kedudukannya sebagai cabang kekuasaan keempat di luar cabang kekuasaan pemerintahan eksekutif, legislatif, dan kehamkiman.

“Presiden atau wakil presiden dan para anggota adalah peserta pemilu, sedangkan kekuasaan kehakiman, berfungsi mengadili proses dan hasil pemilu. Karena itu, KPU, Bawaslu dan DKPP adalah kekuasaan tersendiri yang tidak boleh tunduk di bawah tekanan para anggota DPR ataupun pasangan calon presiden atau wapres sebagai peserta pemilu,” tuturnya.

Jimly berkata, apapun hasil pelaksanaan hak angket DPR tidak boleh dipaksakan efektifitasnya terhadap keputusan KPU mengenai teknis pelaksanaan tahapan pemilu beserta hasilnya, kecuali atas perintah Bawaslu atau PT TUN, dan Mahkamah Konstitusi dengan putusan yang berlaku final dan mengikat.

Jimly juga menyampaikan, pelanggaran yang biasa disebut kecurangan masif selalu terjadi dalam pemilu sejak orde baru, dan juga pemilu masa reformasi sejak 1999; Sejak dimulainya pilpres langsung pertama pada 2004 hingga pemilu 2009, 2014, 2019, dan bahkan 2024 pada saat dimulainya praktik pemilu serentak.

Menurutnya, pelanggaran masif selalu terjadi di semua pemilu, dan cenderung makin meningkat, termasuk ketika dimulainya praktik sistem suara terbanyak tahun 2009 yang menyebabkan caleg internal parpol saling bersaing sendiri-sendiri, dan puncaknya pada pemilu serentak 2024 yang menyebabkan perhatian terpusat ke pilpres.

“Pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif (TSM) sering terjadi dalam praktik di pilkada, terutama pilbup dan pilwako, karena perhatian tertuju ke pilpres, pada pemilu 2024 ini muncul persepsi umum, kecurangan terjadi karena faktor Presiden Jokowi, sehingga dinamika politik di sekitar proses dan hasil pemilu 2024 berkembang makin tegang dan penuh emosi,” tuturnya.

Berangkat dari itu, ia mengajak semua pihak untuk menurunkan dan meningkatkan semangat musyawarah untuk menemukan kebenaran dan keadilan dari aneka perbedaan.

Jimly bilang, perbedaan data dan informasi, perbedaan perspektif atau sudut pandang, atau perbedaan kepentingan dapat dimusyawarahkan.

“Perdebatan rasional di ruang sidang untuk kepentingan yang lebih besar yaitu kemajuan peradaban dalam kehidupan berbangsa bernegara,” tutur Jimly.sinpo

Komentar: