KPK Tegaskan Operasi Tambang Ilegal Perlu Dihukum!

Oleh: Agam
Jumat, 09 Juli 2021 | 10:39 WIB
Ilustrasi tambang./Dok. Kementerian ESDM/
Ilustrasi tambang./Dok. Kementerian ESDM/

SinPo.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan, bahwa operasi tambang ilegal perlu penegakan hukum yang nyata dan segera.

Direktur Koordinasi dan Supervisi I, Didik Agung Widjanarko mengatakan, yang menjadi perhatian KPK adalah bagaimana penertiban perizinan dan dampak usaha tambang bagi pendapatan daerah.

"Kalau ada operasi tambang ilegal, perlu penegakan hukum. Kalau ada izin, seharusnya ada kemanfaatan, bukan kemudhorotan,” ujar Didik dalam rapat Monitoring dan Evaluasi (Monev) Inventarisasi dan Penertiban Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatra Utara (Sumut) secara daring pada Kamis, (8/7).

Asal tahu saja, dalam rapat tersebut, turut hadir perwakilan Ditjen Minerba Kementerian ESDM, perwakilan Ditjen Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), perwakilan Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Perwakilan Ditjen Minerba ESDM, Sugeng Mujianto menyampaikan, bahwa pemerintah tidak mungkin sendirian dalam mengelola kekayaan alam Indonesia, hingga akhirnya memperbolehkan pihak lain. Namun, katanya, harus sesuai izin dan prosedur yang berlaku.

Lebih lanjut, Sugeng menjelaskan terkait pengawasan bahwa dengan dengan Undang-undang (UU) nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara, pembinaan pengawasan (binwas) dilakukan oleh Kemen ESDM melalui inspektur tambang.

“Kami juga mewajibkan adanya surveyor atau verifikator sesuai Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB). Namun dengan UU No. 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, banyak izin daerah ditarik ke pusat. Saat ini ada sekitar 4.500-an izin mineral/batuan dan 3.500an izin Batubara,” urai Sugeng.

Sugeng menambahkan, pengawasan batuan dan non-mineral ini yang perlu dilakukan bersama. Masalah tumpang tindih penerbitan izin juga banyak mengemuka. Diharapkan dengan adanya pendelegasian kewenangan ke pemda maka binwas akan lebih efisien.

Sementara Pj Sekda Provinsi Sumut, Afifi Lubis menjelaskan, kondisi pertambangan Sumut dari hasil pendataan lapangan melalui aparat di Pemprov Sumut.

“Kita menyadari perubahan UU tersebut secara jelas menyatakan kewenangan pengelolaan baik perizinan maupun pengawasan telah beralih ke pemerintah pusat. Kondisi ini tentu bagi kami, posisi kami sebagai steering atau pengarah saja kepada rekan-rekan kita di kabupaten/kota,” ujar Afifi.

Afifi menjelaskan, bahwa terdapat 311 izin usaha pertambangan (IUP) yang tersebar di 23 kab/kota dengan total luas wilayah 4.647,06 hektar. Menurutnya, ada 11 jenis izin utama IUP komoditas dan yang paling tinggi adalah jenis kerikil berpasir alami atau sirtu.

“Memang kondisi pengambilan pasir bersatu, pengambilan tanah dan sebagainya banyak menimbulkan permasalahan. Kita sama-sama tahu di kabupaten Langkat sebagaimana disampaikan oleh Bupati, lebih banyak memberi mudharat atau kerugian daripada manfaat. Hancurnya sarana, prasarana dan infrastruktur jalan sebagai dampak pengambilan galian C,” katanya.

Dari gambaran tersebut, Afifi menjelaskan, bahwa sesuai pemantauan tahun 2020 dan mungkin berubah saat ini, terdapat total 222 usaha galian C yang tidak berizin yang tersebar di 20 Kab/Kota di Sumut. Lebih dari 50 persen dari total keseluruhan izin dan tambang tidak berizin tersebut, sebutnya, didominasi oleh komoditas batuan walaupun ada juga mineral logam dan batuan.

Adapun Direktur Pendapatan Daerah Ditjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri, Hendriwan menjelaskan, keterkaitan penyelenggaraan pertambangan MBLB dan pemungutan pajak MBLB. Pertama, dalam hal kabupaten/kota menemukan kegiatan pertambangan dilaksanakan di luar wilayah pertambangan agar menghentikan pelaksanaan kegiatan pertambangan dan menghentikan pemungutan pajak MBLB.

“Kedua, dalam hal kab/kota menemukan kegiatan pertambangan dilaksanakan di dalam wilayah pertambangan, namun tanpa izin agar kegiatan tetap dapat dilakukan, dengan berkoordinasi dengan provinsi untuk percepatan pengurusan izin dan pajak MBLB tetap dapat dipungut. Wilayah pertambangan ditentukan oleh pemda,” saran Hendriwan.

Sedangkan, Kasubdit Pengembangan Potensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Ditjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu, Fadliya menyampaikan, sepanjang syarat objektif dan subjektif pajak sudah jelas, sudah dapat dikenakan pajak.

Menurutnya, dasar pengenaan MBLB yaitu yang di mulut tambang, bukan dari pemanfaatan yang sudah melalui proses. Yang dikecualikan, katanya, adalah yang nyata tidak komersial.

Kepala BPKAD Provinsi Sumut, Ismail Sinaga menyampaikan permasalah ini sudah berlarut-larut tanpa ada penyelesaian konkrit.

Dia menganggap, ada yang salah dengan regulasi dan kebijakan MBLB dan meyakin hal ini sudah menjadi masalah skala nasional, karena sudah membawa dampak buruk bukan saja bagi lingkungan, ekonomi, sosial masyarakat tapi juga bagi citra dan pendapatan pemda.

“Kita harus dudukkan masalah ini secara nasional. Kabupaten/kota menjadi ragu mengambil tindakan. Semua seolah-olah menjadi ilegal. Saya juga titip agar pusat memperhatikan prinsip keadilan dan keberimbangan dengan daerah dalam merevisi kebijakan,” pinta Ismail.

Menutup kegiatan, KPK berpendapat bahwa Kementerian ESDM perlu segera menyelesaikan dan mengumumkan regulasi turunan dari Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 sesuai amanat UU ini yaitu satu tahun sejak diundangkan. Kedua, meminta Gubernur Sumut bersurat ke pusat atau Kemendagri dalam rangka mendapatkan pedoman sebagai pegangan pemda terutama di masa transisi kewenangan perizinan.

“Dan ketiga, meminta pemda menyelesaikan inventarisasi aktivitas galian C atau MBLB yang belum berizin sebagai bahan pembenahan dan pembahasan permasalahan di tingkat nasional yang akan dijadwalkan,” tutup Didik. sinpo

Komentar: