PPATK: Ada 10 Negara yang Melakukan Transaksi Terbesar dengan ACT

Laporan: Tri Bowo Santoso
Kamis, 07 Juli 2022 | 05:55 WIB
Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana. Foto: Net
Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana. Foto: Net

SinPo.id - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan, ada 10 negara yang melakukan transaksi terbesar dengan lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT).

Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, menjelaskan, data transaksi ini berdasarkan laporan dari tahun 2014-2022. Transaksi ini merupakan aliran dana masuk dan keluar yang melibatkan ACT.

"Ada 10 negara paling besar transaksi incoming ataupun keluar. PPATK melihat berdasarkan data yang ada, lebih dari 2.000 kali pemasukan dari entitas asing kepada yayasan ini angka di atas Rp64 miliar," katanya dalam konferensi pers, Rabu (6/7).

Sementara, untuk aliran dana keluar dari transaksi ini terekam sebanyak lebih dari 450 kali dengan nominal sebesar Rp52 miliar.

Ivan menjelaskan, transaksi di ACT memang dapat dilakukan dari dan ke luar negeri. Hal ini untuk memudahkan pengiriman bantuan kepada pihak-pihak yang berada di luar negeri.

10 negara dengan transaksi terbesar tersebut adalah Jepang, Turki, Inggris, Malaysia, Singapura, Amerika, Jerman, Hongkong, Australia, dan Belanda .

"Angkanya sekitar paling tinggi hampir Rp21 miliar. Itu terkait dengan negara tujuan transaksi di luar negeri, individu maupun lembaga asing yang menerima dana," ucapnya.

Dia menjelaskan, transaksi dari dan ke luar negeri tersebut akan didalami lebih lanjut untuk melihat apakah aliran dana tersebut berkaitan dengan pendanaan aktivitas terlarang di luar negeri atau tidak.

Ivan menambahkan, pihaknya telah bekerjasama dengan aparat penegak hukum terkait, dan melakukan kajian lebih mendalam berdasarkan data yang dimiliki oleh PPATK dan laporan transaksi dari perbankan.

Di sisi lain, ditemukan juga individu yang melakukan transaksi secara sendiri-sendiri ke beberapa negara dan beberapa pihak untuk kepentingan yang masih diteliti lebih lanjut.

"Misalnya salah satu pengurus melakukan pengiriman dana periode 2018-2019 hampir senilai Rp500 juta ke beberapa negara seperti ke Turki, Bosnia, dan lain-lain," papar Ivan.

Kemudian ada juga salah satu karyawan yang melakukan transaksi pengiriman dana beresiko tinggi sebanyak 17 kali transaksi dengan nominal Rp1 miliar selama periode 2 tahun.

"Memberikan bantuan kepada pihak-pihak tertentu Kita perlu aware terkait pengelolaan dana apakah benar ditujukan kepada bantuan atau dipergunakan untuk kepentingan lain. Risiko tetap ada, tapi ini jangan ditanggapi sebagai upaya membatasi sumbangan," tandasnya.

 sinpo

Komentar: