Tak Punya Payung Hukum, Komisi V: Grab dan Gojek Angkutan Umum Ilegal

Laporan: Juven Martua Sitompul
Senin, 07 November 2022 | 18:50 WIB
RDP Komisi V dengan penyedia transportasi daring/ SinPo.id/ Galuh Ratnatika
RDP Komisi V dengan penyedia transportasi daring/ SinPo.id/ Galuh Ratnatika

SinPo.id - Anggota Komisi V DPR Suryadi Jaya Purnama menegaskan keberadaan roda dua sebagai angkutan umum tidak memiliki payung hukum di Indonesia. Keberadaan roda dua yang menjadi angkutan umum bahkan disebut kegiatan ilegal.

"Kendaraan roda dua ini bukan kendaraan angkutan umum, jadi tidak ada payung hukumnya," kata Suryadi dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi V, Kompleks Senayan, Jakarta, Senin, 7 November 2022. 

Agenda pembahasan mengenai Keputusan Menteri Perhubungan yang mengatur tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat dengan aplikasi. 

Rapat yang dipimpin langsung Wakil Ketua Komisi V Ridwan Bae itu menghadirkan tiga perusahaan aplikator transportasi online, masing-masing Dirut PT Goto Gojek Tokopedia tbk, Direktur PT Grab Teknologi Indonesia, Direktur PT Teknologi Perdana Indonesia (MAXIM).

Komisi V menekankan transportasi online saat ini menjadi kebutuhan masyarakat. Karena itu, tarif yang dikenakan harus memberikan rasa keadilan, baik bagi masyareakat pengguna transportasi, perusahaan penyedia aplikasi maupun mitra pengemudi.

Suryadi mengakui keberadaan perusahaan jasa aplikasi start up di bidang transportasi online secara resmi diakui pemerintah. Namun, tidak bagi kendaraan roda dua yang dijadikan transportasi umum. 

"Formalitas jasa aplikasi ini memang legal, tetapi kegiatannya sebetulnya ilegal (karena) menggunakan kendaraan roda dua sebagai kendaraan umum," jelas politisi PKS itu.

Soal perhitungan biaya jasa penggunaan sepeda motor, Suryadi mempertanyakan sistem audit yang dilakukan perusahaan jasa aplikator dan pemerintah. Dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub). 

"Untuk perlindungan konsumen, belum ada instrumen untuk mengukur bagaimana akurasi yang dilakukan terhadap sistem ini. Karena kita tidak tahu, tidak punya cara, apakah betul per kilonya sudah bertambah.

Hal senada disampaikan anggota Komisi V DPR Sudewo. Dia mempertanyakan kebijakan yang diambil Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan.

"Pijakannya dari Undang-Undang mana? Dari peraturan pemerintah yang mana? Saya juga masih mempertanyakan sampai ada aturan semacam ini," ucapnya. 

Politisi Gerindra itu menyatakan akan menanyakan langsung dalam rapat dengan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Sebab, sampai detik ini Komisi V belum mendapatkan gambaran utuh perihal dasar penerbitan penentuan perhitungan biaya jasa penggunaan sepeda motor sebagai transportasi.

Dia kemudian mengkritik perusahaan aplikator yang nyata-nyata melanggar kebijakan pemerintah soal potongan bagi mitra pengemudi perusahaan aplikator. Di mana perusahaan aplikator nekat melakukan pemotongan dari ketentuan maksimal sebesar 15 persen terhadap mitra.

"Apa yang dilanggar? Tentang potogan maksimum sebesar 15 persen. Itu ternyata memang tidak ditaati, ada yang memotong sampai 20 persen itu adalah Grab, kemudian Gojek 20 persen. Dan ditambah lagi pemotongan sebesar Rp5 ribu, mengapa sampai tidak ada kepatuhan terhadap Grab dan Gojek," kata Sudewo.

Padahal, kata dia, saat pembahasan mengenai ketentuan pemotongan maksimal sebesar 15 persen diikuti langsung oleh Grab maupun Gojek. Setelah melalui pembahasan panjang kemudian keluarlah suatu kebijakan dari Kemenhub.

"Pertanyaannya, mengapa sampai tidak patuh menjalankan, dan mengapa Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan membiarkan hal ini. Apa gunanya dia membuat satu kebijakan kalau tidak dilaksanakan?" ucapnya. 

Ketidakpatuhan perusahaan aplikator ini merupakan teguran keras terhadap Kemenhub. Sebab, kebijakan yang diputuskan realisasinya tidak dipatuhi perusahaan aplikator transportasi online. Komisi V akan mempertanyakan hal itu ke Menhub Budi Karya Sumadi.

 sinpo

Komentar: