Wayang Potehi, Sempat Redup Seiring Pembatasan Ruang Gerak Kebudayaan Tionghoa

Laporan: Khaerul Anam
Rabu, 02 November 2022 | 08:51 WIB
Wayang Potehi (SinPo.id/Ist)
Wayang Potehi (SinPo.id/Ist)

SinPo.id -  Teater Boneka Potehi atau lebih dikenal dengan sebutan Wayang Potehi, merupakan pertunjukan yang cukup akrab dengan kehidupan masyarakat Jawa. Pertunjukan Potehi selain digelar untuk upacara ritual di dalam Kelenteng, juga salah satu pertunjukan hiburan yang cukup digemari di arena keramaian seperti perayaan Cap Go Meh, Imlek hingga pasar malam.

Penampilan wayang Potehi dimainkan sang dalang dengan memasukkan tangan ke dalam pakaian yang dikenakan wayang. Jari tengah digunakan untuk mengendalikan kepala. Sedangkan ibu jari dan kelingking untuk mengendalikan tangan wayang.

Seorang dalang senior dari Semarang Thio Tiong Gie menyebutkan kata Potehi dari "Poo" yang berarti kain, "Tay" yang berarti kantung, dan "Hie" yang berarti wayang. “Jadi Potehi secara harafiah berarti wayang sarung tangan atau teater boneka sarung tangan,” kata Thio.

Wayang Potehisudah ada sebelum Indonesia berdiri, atau dulu bernama Nusantara pada sekitar abad 16 sampai 19 melalui orang-orang Tionghoa yakni masyarakat Fujian Selatan, khususnya suku Hokkian yang bermigrasi ke wilayah Jawa.

Pertunjukan wayang Potehi telah tumbuh dan beradaptasi dengan budaya masyarakat Nusantara khususnya Jawa. Budaya Tionghoa yang dibawa oleh para imigrant tersebut membaur pula dengan budaya masyarakat local.

"Potehi yang di bawa serta oleh emigrant Hokkian ke Jawa, telah tumbuh dan beradaptasi dengan budaya masyarakat setempat," tulis Hirwan Kuardhni dalam buku 'Mengenal Teater Boneka Potehi dan Budaya Tionghoa Peranakan Indonesia'.

Hal unik lainnya adalah para imigran Tionghoa yang datang ke tanah Jawa tidak hanya dari suku Hokkian, melainkan ada suku Hokja, Hakka (Khek), Hopek dan lain sebagainya, yang kesemuanya tidak mengenal pertunjukan boneka Potehi.

Sehingga membuat suku-suku Tionghoa lain yang bermigrasi ke Jawa jadi mengenal pertunjukan boneka Potehi dan merasa menjadi milik mereka sebagai wakil kesenian tionghoa selain Barongsay dan Liongsay.
 

Wayang Potehi Ada Sejak Dinasti Tang.
Dalam buku “Wayang Potehi: Chinese Peranakan Performing Arts in Indonesia” yang ditulis Dwi Woro Retno Mastuti, menyebutkan kesenian Wayang Potehi dikenal masyarakat Tiongkok pada abad ke-7 sampai dengan abad ke-9 semasa Dinasti Tang.

Buku itu menyebut ada beberapa versi cerita asal mula munculnya wayang Potehi. Versi pertama, boneka Potehi dibuat oleh seorang pelajar bernama Liang Bing Lin yang berkali kali gagal ujian berdoa di kelenteng Xian Gong Miao yang dekat dengan danau Jiu Li, Fujian.

Konon Liang Bing bermimpi dihampiri seorang tua yang menuliskan di telapak tangannya “gongming gui zhangshang” yang artinya kemashuran muncul dari telapak tangan.

Liang Bing yang merasa mimpinya merupakan tanda bahwa dia akan lulus, menjadi sangat kecewa ketika ternyata dia tetap tidak lulus. Untuk melipur kesedihannya dia pulang ke kampung dan memainkan boneka-boneka kecil yang dimainkan dengan telapak tangannya.

Kepandaiannya bercerita dan menyusun kata kata mampu membuat pertunjukan boneka yang dimainkannya menjadi sangat termashur. Setelah itu Liang Bing baru menyadari makna mimpinya.

Sementara versi cerita lain menyebutkan bahwa pertunjukan boneka Potehi dibuat oleh lima tahanan yang dijatuhi hukuman mati. Di penjara mereka tidak mau menghabiskan hidupnya dengan bersedih. Kemudian mereka menghibur diri dengan membuat pertunjukan sederhana berupa boneka diiringi musik yang dibuat dari bahan sederhana yang mereka temukan di penjara. Bunyi sedap yang keluar dari tetabuhan darurat ini terdengar juga oleh kaisar, yang akhirnya memberi pengampunan.

Sempat Redup Akibat Perlakuan Penguasa
Keberadaan wayang Potehi sempat redup dalam kurun waktu yang lama saat pemerintahan Orde Baru, bersamaan ruang gerak kebudayaan Tionghoa Peranakan di Indonesia dibatasi.

Saat itu ada larangan menggelar pementasan berwarna Tionghoa, termasuk pertunjukan teater boneka Potehi. Pertunjukan boneka Potehi hanya dapat ditonton di lingkungan kelentheng, yakni di halaman bagian depan. Penonton pendukungnya adalah kaum Tionghoa Peranakan beragama Tridarma.

Kebanyakan kelentheng memiliki bangunan permanen untuk tempat panggung Potehi, namun ada pula kelentheng yang memiliki bangunan knock-down mirip gardu ronda.

Rumah-rumahan panggung tersebut dapat dibongkar pasang untuk tempat meletakan panggung Potehi jika diperlukan dan akan dibongkar jika sudah selesai rangkaian pementasannya.

Pada era reformasi, pemerintah mengizinkan kembali upacara-upacara ritual adat dan keagamaan etnis Tionghoa secara terbuka. Seni pertunjukan Tionghoa Peranakan mulai marak dipentaskan termasuk pertunjukan teater wayang Potehi yang selama masa Orde Baru bagaikan mati suri.

Pementasan wayang Potehi di luar kelentheng perlahan menjadi aktivitas yang wajar tanpa ada kecemasan karena pelarangan oleh pemerintah. Teater boneka Potehi dipertunjukkan untuk perayaan Imlek di mall, untuk Paskah di gereja, acara dies natalis sebuah perguruan tinggi, dan sebagainya.

Fungsi yang diemban teater boneka Potehi semakin luas, tidak hanya fungsi untuk kegiatan ritual di dalam kelentheng seperti selama Orde Baru namun fungsi sebagai pertunjukan hiburan sekuler kembali disandangnya. (*)

 sinpo

Komentar: