Kabulkan Gugatan Haris Azhar-Fatia, MK Hapus Pasal Sebar Hoax dan Bikin Onar

Laporan: david
Kamis, 21 Maret 2024 | 17:23 WIB
Gedung MK (SinPo.id/Mk)
Gedung MK (SinPo.id/Mk)

SinPo.id - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan yang dilayangkan Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti dan kawan-kawan terkait sejumlah pasal mengenai pencemaran nama baik dan berita bohong.

Putusan itu dibacakan MK dalam sidang putusan terhadap perkara nomor 78/PUU-XXI/2023 di Gedung MK, Jakarta Pusat pada hari ini, Kamis 21 Maret 2024.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Ruang Sidang Pleno Gedung MK RI, Jakarta.

Haris Azhar dkk diketahui melakukan uji materi terhadap Pasal 27 ayat 3 dan 45 ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (Undang-Undang ITE), Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 310 ayat 1 KUHP.

Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dengan pertimbangan tidak memiliki parameter sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan membatasi kebebasan berekspresi.

MK menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

"Menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (berita negara Republik Indonesia II nomor 9) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Suhartoyo.

Berikut adalah bunyi Pasal 14 dan Pasal 15 UU Tahun 1946:

Pasal 14

(1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.

(2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.

Pasal 15

Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.

Pada bagian pertimbangan, MK berpandangan demikian karena menilai, "Rumusan norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1945 yang luas dan tidak jelas sehingga dapat diartikan tidak terbatas dan beragam, telah menyebabkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945."

Kemudian, untuk amar putusan pada uji materi Pasal 310 ayat 1 KUHP, MK menyatakan pasal itu inkonstitusional bersyarat.

"Menyatakan Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan, 'Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah', bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, 'Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dengan cara lisan, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah'," tutur Suhartoyo membacakan putusan untuk Pasal 310 ayat 1 KUHP.

Dalam pertimbangannya, MK menilai rumusan Pasal 310 ayat (1) KUHP sebetulnya telah diakomodasi dalam Pasal 433 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 ( KUHP baru). Namun, MK menilai ada perbedaan ketentuan norma dalam dua pasal tersebut, yakni penegasan pelaku melakukan perbuatan pencemaran mencakup perbuatan 'Dengan Lisan'. MK menilai unsur tersebut tidak diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP.

"Oleh karena itu, tanpa Mahkamah bermaksud menilai konstitusionalitas Pasal 433 UU 1/2023 yang baru mempunyai kekuatan mengikat setelah tiga tahun sejak diundangkan, yaitu tanggal 2 Januari 2026, maka penegasan berkenaan dengan unsur perbuatan 'dengan lisan' yang terdapat dalam Pasal 433 UU 1/2023 bisa diadopsi atau diakomodir guna kepastian hukum dalam penerapan ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP," ujar Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam persidangan.

"Dengan demikian, norma Pasal 310 ayat (1) KUHP dimaksud dapat memberikan kepastian hukum dan mempunyai jangkauan kesetaraan yang dapat mengurangi potensi adanya perbedaan perlakuan atau diskriminasi terhadap addresat norm atas ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP, sehingga dalam penerapannya tidak menimbulkan ambiguitas," sambung Enny.

Semantara, untuk permohonan dua pasal lain dalam UU ITE, MK memutuskan uji materinya ditolak, karena sudah 'kehilangan objek' setelah pemerintah dan DPR mengesahkan dan mengundangkan perubahan UU ITE yang baru yakni UU Nomor 1 Tahun 2024.sinpo

Komentar: