Profil Empat Pahlawan Nasional 2021, Raden Aria Wangsakara Hingga Tombolotutu

Laporan: Samsudin
Rabu, 10 November 2021 | 13:22 WIB
Empat tokoh Pahlawan Nasioanl baru/Net
Empat tokoh Pahlawan Nasioanl baru/Net

SinPo.id - Presiden Joko Widodo resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada empat tokoh bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan, Rabu (10/11). Keempat tokoh itu Usmar Ismail, dari DKI Jakarta; Raden Aria Wangsakara, dari Banten; Tombolotutu, dari Sulawesi Tengah; dan Sultan Aji Muhammad Idris dari Kalimantan Timur.

Berikut Profilnya:

1. Tombolotutu dari Sulawesi Tengah

Dikutip dari parigimoutongkab.go.id, Tombolotutu merupakan orang yang terpandang. Ia adalah seorang raja di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.

Sebagai raja, Tombolotutu turut menjadi garda terdepan dalam garis perlawanan menghadapi penjajah Belanda kala itu. Diketahui, upaya untuk menjadikan Tombolotutu sebagai pahwalan nasional telah disuarakan sejak 1990-an.

2. Sultan Aji Muhammad Idris dari Kalimantan Timur

Sementara itu, Sultan Aji Muhammad Idris merupakan sultan ke-14 dari Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.

Ia memerintah kesultanan ini sejak 1735 hingga tahun 1778. Dalam riwayat perjalanan Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura, Sultan Aji Muhammad Idris merupakan sultan pertama yang menyandang nama bernuansa Islam.

Sultan Aji Muhammad Idris adalah cucu menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng yang berangkat ke Tanah Wajo, Sulawesi Selatan. Di Wajo, ia turut bertempur bersama rakyat Bugi melawan Veerenigde Oostindische Compagnie (VOC), kongsi dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda.

3. Usmar Ismail dari DKI Jakarta

Adapun Usmar Ismail dikenal sebagai bapak perfilman Indonesia karena karya-karyanya yang apik. Sepanjang kariernya, Usmar Ismail telah membuat lebih dari 30 film. Beberapa film produksi Usmar Ismail yang terkenal yakni Pedjuang (1960), Enam Djam di Djogja (1956), Tiga Dara (1956), dan Asrama Dara (1958).

Tak hanya itu, film arahan Usmar Ismail berjudul Darah dan Doa (The Long March of Siliwangi) yang diproduksi pada 1950 menjadi film pertama yang secara resmi diproduksi oleh Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat.

Ayahnya adalah Datuk Tumenggung Ismail, guru Sekolah Kedokteran di Padang, dan ibunya, Siti Fatimah. Ternyata Usmar juga memiliki seorang kakak yang juga menggeluti dunia sastra. Kakaknya bernama Dr. Abu Hanifah yang lebih sering menggunakan nama pena, El Hakim.

Usmar mengawali pendidikannya di HIS (sekolah dasar) di Batusangkar, lalu melanjutkan ke MULO (SMP) di Simpang Haru, Padang, dan kemudian ke AMS (SMA) di Yogyakarta. Setelah lulus dari AMS, ia melanjutkan lagi pendidikannya ke University of California di Los Angeles, Amerika Serikat.

Bakat Usmar di bidang sastra sudah terlihat sejak ia masih duduk di bangku SMP. Saat itu, ia bersama teman-temannya, antara lain Rosihan Anwar, ingin tampil dalam acara perayaan hari ulang tahun Putri Mahkota, Ratu Wilhelmina, di Pelabuhan Muara, Padang.

Usmar ingin menyajikan suatu pertunjukan dengan penampilan yang gagah, unik, dan mengesankan. Sayangnya pertunjukkan yang sudah direncanakan Usmar harus gagal, karena ia baru sampai saat matahari tenggelam.

Meski demikian acara yang gagal itu dicatat Rosihan Anwar sebagai tanda bahwa Usmar Ismail memang berbakat menjadi sutradara. Setelah duduk di bangku SMA, di Yogyakarta, Usmar semakin banyak terlibat dengan dunia sastra.

Ia memperdalam pengetahuan dramanya dan aktif dalam kegiatan drama di sekolahnya. Tak hanya itu, Usmar juga mulai mengirimkan karangan-karangannya ke berbagai majalah.

Bakat Usmar semakin berkembang saat ia bekerja di Keimin Bunka Sidosho (Kantor Besar Pusat Kebudayaan Jepang). Bersama dengan Armijn Pane dan budayawan lainnya, Usmar pun bekerja sama untuk mementaskan drama.

Kemudian pada Pada tahun 1943, Usmar Ismail bersama abangnya, El Hakim, dan bersama Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, serta HB Jassin mendirikan kelompok sandiwara yang diberi nama Maya.

Maya adalah sebuah sandiwara yang dipentaskan berdasarkan teknik teater barat. Sandiwara yang dipentaskan Maya, antara lain, “Taufan di Atas Asia (El Hakim)”, “Mutiara dari Nusa Laut (Usmar Ismail)”, “Mekar Melati (Usmar Ismail)”, dan “Liburan Seniman (Usmar Ismail).”

Usmar pernah dijebloskan ke penjara oleh Belanda saat ia bekerja sebagai wartawan politik di kantor berita Antara. Saat itu Usmar dituduh terlibat kegiatan subversi karena meliput perundingan Belanda RI di Jakarta, pada tahun 1948.

Serius di Bidang Perfilman

Setelah terjun ke dunia teater, Usman mulai menaruh minatnya yang lebih serius pada perfilman. Sewaktu masih di Yogya pun, Usmar hampir setiap minggu bersama teman-temannya berkumpul di suatu gedung di depan Stasiun Tugu untuk berdiskusi mengenai seluk-beluk film.

Teman berdiskusinya itu, antara lain, Anjar asmara, Armijn Pane, Sutarto, dan Kotot Sukardi. Anjar Asmara itulah orang pertama yang menawarinya menjadi asisten sutradara dalam film “Gadis Desa.” Setelah itu, berlanjut pada penggarapan film berikutnya, seperti “Harta Karun,” dan “Citra.”

4. Raden Aria Wangsakara dari Banten

Raden Aria Wangsakara dikenal sebagai pejuang dalam melawan penjajahan Belanda. Ia merupakan keturunan Raja Sumedang Larang, Sultan Syarif Abdulrohman.

Bersama dua kerabatnya, yakni Aria Santika dan Aria Yuda Negara, Aria Wangsakara lari ke Tangerang karena tidak setuju dengan saudara kandungnya yang berpihak kepada VOC. Aria Wangsakara yang pernah didapuk sebagai penasihat Kerajaan Mataram menyebarkan ajaran Islam.

Selain sebagai pendiri Tangerang, Wangsakara juga dikenal sebagai ulama penyebar ajaran Islam. Raden Aria Wangsakara merupakan keturunan Raja Sumedang Larang, Sultan Syarif Abdulrohman.

Karena tidak sepaham dengan saudaranya yang berpihak kepada penjajah Belanda, Raden Aria Wangsakara lantas berpindah dan menetap di wilayah Tangerang.

Wangsakara dikabarkan melakukan pelarian ke Tangerang bersama saudaranya, Aria Santika dan Aria Yuda Negara. Raden Aria Wangsakara kemudian menetap bersama sang istri, Nyi Mas Nurmala, anak dalam Bupati Karawang Singaprabangsa.

Mereka tinggal bersama pengikutnya yang berjumlah sekitar 500 orang di Lengkong Kyai. Bersama dengan kedua saudaranya itu, Wangsakara lantas bertugas untuk menjaga wilayah dari tindakan kompeni, dengan membangun benteng di Lengkong Kyai yang terletak di tepi Sungai Cisadane hingga bendungan Sangego.

Lengkong Ulama atau Lengkong Kyai merupakan sebuah dusun yang berada dalam wilayah Desa Lengkong Kulon, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.

Selain bertugas untuk menjaga wilayah tersebut, Wangsakara juga terus menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat setempat. Namun, aktivitas Wangsakara dalam menyebarkan ajaran Islam kemudian tercium VOC tahun 1652-1653.

Karena dianggap dapat membahayakan VOC, VOC kemudian mendirikan benteng di sebelah timur Sungai Cisadene dan mengarahkan tembakan Meriam ke wilayah kekuasaan Wangsakara. VOC diketahui memprovokasi warga dan membuat kekacauan dengan mengarahkan tembakan meriam ke arah Lengkong Kyai.

Hal inilah yang kemudian memicu pertempuran antara penjajah dan rakyat Tangerang. Peristiwa tersebut menjadi tiktik awal tumbuhnya jiwa patriotisme rakyat Tangerang, di bawah kepemimpinan Raden Aria Wangsakara.

Raden Aria Wangsakara akhirnya berhasil mengalahkan VOC usai melakukan pertempuran selama 7 bulan berturut-turut. Jauh setelah itu, Wangsakara dikabarkan gugur tahun 1720 di Ciledug dan dimakamkan di Lengkong Kyai, Kabupaten Tangerang.sinpo

Komentar: