MK Tolak Kembali Permohonan Uji Materiil Presidential Threshold

Laporan: Sinpo
Rabu, 01 Maret 2023 | 01:51 WIB
Hakim Konstitusi Saldi Isra (Foto Humas/Ifa)
Hakim Konstitusi Saldi Isra (Foto Humas/Ifa)

SinPo.id -  Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menolak uji materiil aturan mengenai ambang batas pencalonan presiden sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Putusan Nomor 4/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Herifuddin Daulay yang berprofesi sebagai guru honorer pada Selasa (28/2/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. “Menyatakan Menolak Permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” demikian disampaikan Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya. 

Hakim Konstitusi Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum Mahkamah mengatakan, isu konstitusional yang dimohonkan pemohon dalam permohonan Pemohon tidak jauh berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022 dan Mahkamah tidak atau belum memiliki alasan hukum yang kuat untuk mengubah pendiriannya. 

“Sehingga, pertimbangan hukum dalam Putusan MK 117/PUU-XX/2022 tersebut mutatis mutandis berlaku menjadi pertimbangan hukum dalam putusan a quo. Artinya norma pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf I UU/2017 adalah konstitusional,” sebut Saldi.

Saldi menerangkan, karena isu konstitusional yang dimohonkan tidak berbeda dengan putusan-putusan sebelumnya berkenaan dengan ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang menyatakan norma Pasal 222 UU Pemilu mutatis mutandis berlaku pula menjadi pertimbangan hukum dalam putusan ini.  Namun demikian, sambung Saldi, penting bagi Mahkamah menyatakan dari semua putusan tersebut—terutama sejak berlakunya UU Pemilu—dua orang Hakim Konstitusi yakni Suhartoyo dan Saldi Isra mengajukan pendapat berbeda dan tetap pada pendiriannya bahwa ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah bertentangan dengan UUD 1945 atau inskonstitusional. “Artinya terlepas dari perbedaan pendapat tersebut ketentuan pasal 222 UU 7/2017 adalah  konstitusional,” imbuh Saldi. 

Berdasarkan pertimbangan hukum diatas, Saldi menyebutkan dalil-dalil pemohon yang menyatakan norma Pasal 169 huruf n, Pasal 227 huruf i dan Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan UUD adalah tidak beralasan menurut hukum. Pemohon juga mengajukan dalil-dalil lain. Oleh karena dalil-dalil tersebut tidak jelas dan tidak memiliki ketersambungan (benang merah) dengan bagian petitum Mahkamah menganggap tidak terdapat relevansinya untuk mempertimbangkan dalil-dalil dimaksud. Begitu pula dengan provisi pemohon yang meminta Mahkamah menyatakan Kaidah hukum tunduk pada kaidah Bahasa Indonesia” menurut Mahkamah petitum berkaitan dengan provisi demikian adalah tidak jelas atau kabur sehingga harus dikesampingkan. 

Sebelumnya, Pemohon merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya akibat berlakunya norma Pasal 7 UUD 1945 mengenai adanya pembatasan pribadi jabatan Presiden hanya boleh mendaftar dan atau terpilih untuk 2 (dua) kali masa jabatan. Kerugian tersebut berdasarkan anggapan Pemohon bahwa orang yang kompeten untuk jabatan Presiden hanya sedikit, sehingga pembatasan tersebut akan mengakibatkan pemimpin yang terpilih adalah orang yang tidak berkompeten. 

Selanjutnya Pemohon menilai, terdapat kesalahan dalam teks Pasal 7 UUD 1945 tentang jabatan Presiden, baik kesalahan karena penulisan teks atau kesalahan dalam memahami teks. Kesalahan secara implisit mengandung makna “bila” yaitu terkandung makna “Kondisional bersyarat”. Menurut Pemohon, kesalahan dimaksud  karena teks mengambang dalam pengertiannya. Dengan makna “kondisional bersyarat” tersebut maka diperlukan peraturan tambahan untuk menguatkan maksud dari norma dimaksud, sehingga secara keseluruhan makna utuh dari Pasal 7 UUD 1945 adalah hanya diutamakan untuk ditetapkan 2 (dua) kali masa periode dan jika diinginkan, melalui pembiaran atau keputusan peradilan konstitusi yaitu oleh Mahkamah Konstitusi.

Adapun peraturan tambahan berupa Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i pada UU Pemilu menurut Pemohon menjadi pokok dasar dari adanya pembatasan pribadi jabatan calon Presiden dan atau Wakil Presiden untuk menjabat lebih dari 2 (dua) kali masa jabatan baik secara berturut-turut maupun berselang. Sehingga, Pemohon berpendapat bahwa pembatasan jabatan Presiden justru lebih besar mudarat ketimbang manfaatnya sehingga norma yang mengatur pembatasan jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang hanya 2 (dua) kali masa jabatan harus dihapus. Dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan untuk menyatakan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.sinpo

Komentar: